Senin, 17 Juni 2013

Puisi kasih " Jalaluddin Rumi "


1

Aku bukanlah orang Nasrani, Aku bukanlah orang Yahudi, Aku bukanlah orang Majusi, dan Aku bukanlah orang Islam. Keluarlah, lampaui gagasan sempitmu tentang benar dan salah. Sehingga kita dapat bertemu pada “Suatu Ruang Murni” tanpa dibatasi berbagai prasangka atau pikiran yang gelisah.

2

Di dalam cahaya-Mu aku belajar mencintai. Di dalam keindahan-Mu aku belajar menulis puisi. Kau senantiasa menari di dalam hatiku, meski tak seorang pun melihat-Mu, dan terkadang aku pun ikut menari bersama-Mu. Dan “ Penglihatan Agung” inilah yang menjadi inti dari seniku.

3

Hakikat Yang Maha Pengasih hadir secara langsung laksana sinar matahari yang menerangi bumi. Namun, kasih-Nya tidaklah berasal dari berbagai bentuk yang ada di bumi. Kasih-Nya melampaui setiap bentuk yang ada di bumi, sebab bumi ini dan segala isinya tercipta sebagai perwujudan dari kasih-Nya.

4

Jika kau ingin melihat wajah-Nya, maka tengoklah pada wajah sahabatmu tercinta.

5

Sekian lama aku berteriak memanggil nama-Mu sambil terus-menerus mengetuk pintu rumah-Mu. Ketika pintu itu terbuka, aku pun terhenyak dan mulai menyadari sesungguhnya selama ini aku telah mengetuk pintu dari dalam rumahku sendiri.

6

Demi Allah, ketika kau melihat Jatidirimu sebagai Yang Maha Indah, maka kau pun akan menyembah dirimu sendiri.

7

Di mana saja kau berada, apa pun keadaanmu, cobalah selalu menjadi seorang pecinta yang senantiasa dimabuk oleh kasih-Nya. Sekali kau dikuasai oleh kasih-Nya, maka kau akan hidup menjadi seorang pecinta yang hidup bagaikan dalam pusara. Dan kau akan tetap hidup hingga hari kebangkitan itu tiba, lantas kau pun akan dibawa ke dalam surga dan hidup kekal selamanya. Namun, jika kau belum menjadi seorang pecinta, maka pada hari pembalasan seluruh pahalamu tidak akan dihitung.

8

Pada Hari Kebangkitan, orang-orang akan berjalan sempoyongan. Di depan-Mu, mereka akan menggigil dengan wajah pucat karena ketakutan. Maka, aku akan memeluk kasih-Mu dan berkata kepada mereka: “Mintalah apa pun; mintalah atas namaku.”

9

Ketika aku mati sebagai manusia, maka para malaikat akan datang dan mengajakku terbang ke langit tertinggi. Dan ketika aku mati sebagai malaikat, maka siapa yang akan mendatangiku? Kau tak akan pernah dapat membayangkannya!

10

Hari ini, seperti hari lainnya, kita terjaga dengan perasaan hampa dan ketakutan. Namun, janganlah tergesa melarikan diri dari kenyataan pahit ini dengan pergi berdoa atau membaca kitab suci. Lepaskan semua tindakan mekanis yang berasal ketaksadaran diri. Biarkan keindahan Sang Kekasih menjelma dalam setiap tindakan kita. Ada beratus jalan untuk berlutut dan bersujud kepada-Nya.

11

Diamlah! Cinta adalah sebutir permata yang tak bisa kaulemparkan sembarangan seperti sebutir batu.

12

“Mintalah sesuatu kepada-Ku,” begitu Kau berkata suatu ketika. Aku tertawa dan berkata: “Aku telah cukup bersama-Mu. Tanpa kehadiran-Mu, seluruh dunia ini hanyalah sebatang kayu yang mengapung dan terombang-ambing di samudera-Mu.”

13

Yakinlah, di Jalan-Cinta itu: Tuhan akan selalu bersama-Mu.

14

Tak ada pilihan lain bagi jiwa, selain untuk mengasihi. Namun, pertama kali jiwa harus merangkak dan merayap di antara kaki para pecinta. Hanya para pecinta yang dapat lepas dari perangkap dunia dan akhirat. Hanya hati yang dipenuhi dengan cinta yang dapat menjangkau langit tertinggi. Bunga mawar kemuliaan hanya dapat bersemi di dalam hati para pecinta.

15

Segalanya yang kau lihat mempunyai akarnya di dalam dunia yang tak terlihat. Bentuk akan berubah, namun intisarinya tetaplah sama.

16

Ketika sedih, aku bersinar bagaikan bintang pagi. Ketika patah hati, hakekatku justru tersingkap sendiri. Ketika aku diam dan tenang seperti bumi, tangisku bagaikan guntur yang menggigilkan surga di langit tertinggi.

17

Hati manusia selalu terbuka dan dapat menerima segalanya: semua yang baik dan buruk menjadi bagian dari Sufi.

18

Aku kehilangan duniaku, ketenaranku, dan pikiranku. Ketika matahari terbit, maka semua bayang-bayang lenyap. Aku berlari mendahului bayang-bayang tubuhku yang lenyap saat aku berlari. Namun, cahaya matahari itu berlari mendahuluiku dan memburuku, hingga aku pun terjatuh dan bersujud pasrah ditelan samudera kilau-Nya yang mempesona.

19

Aku ingin melihat wajah-Mu pada sebatang pohon, pada matahari pagi, dan pada langit yang tanpa warna.

20

Karena Cinta segalanya menjadi ada. Dan hanya karena Cinta pula, maka ketiadaan nampak sebagai keberadaan.

21

Badan ini hanyalah suatu cermin surga. Energinya membuat para malaikat cemburu. Kemurniannya membuat malaikat Seraphim terkejut. Dan Iblis yang berdiam di urat-urat syarafmu pun menggigil takut.

22

Kau lebih mahal dibanding surga dan bumi. Apa yang bisa kukatakan lagi? Kau tak mengetahui bahwa selama ini segala yang berharga telah menjadi milikmu. Janganlah menjual dirimu dengan harga murah, sesungguhnya dirimu sangatlah mahal di mata Tuhan.

23

Cintaku pada-Nya adalah hakikat jiwaku. Hidupku adalah gelora yang selalu merindukan-Nya. Aku hidup seperti seorang gipsi pengembara, aku tak pernah menetap di tempat yang sama, namun setiap malam aku selalu bernyanyi dan menari ditemani bintang-bintang di bawah langit yang sama.

24

Kematianku adalah perkawinanku dengan keabadian.

25

Meski aku terbakar habis, namun aku tetap tertawa, karena abuku masih tetap hidup! Aku telah mati ribuan kali: namun abuku selalu menari dan lahir kembali dengan ribuan wajah baru.

26

Di gurun pasir tanpa batas, aku kehilangan jiwaku, dan menemukan bunga mawar ini.

27

Aku telah melihat wajah mulia Sang Raja. Dia adalah mata dan matahari surga. Dia adalah teman seperjalanan dan penyembuh semua mahluk. Dia adalah jiwa dan alam semesta yang melahirkan jiwa-jiwa. Dia menganugerahkan kebijaksanaan pada kebijaksanaan, kemurnian pada kemurnian. Dia adalah tikar sembahyang bagi jiwa orang-orang suci. Setiap atom di tubuhku berlompatan sambil menangis dan berkata: “Terpujilah Tuhan.”

28

Apapun juga yang mereka katakan atau pikirkan, aku tetap ada di dalam Kau, karena aku adalah Kau. Tak seorang pun dapat memahami hal ini, sampai ia mampu melampaui pikirannya.

29

Jika kau dapat bertemu dengan Jatidirimu meski hanya sekali, maka rahasia dari segala rahasia akan terbuka bagimu. Wajah dari Yang Maha Tersembunyi, yang ada di luar alam semesta ini, akan nampak pada cermin persepsimu.

30

Setiap penglihatan tentang keindahan akan lenyap. Setiap perkataan yang manis akan memudar. Namun, janganlah kau berputus asa, karena mereka semua datang dari sumber yang sama, dari Keabadian. Masukilah Keabadian itu, maka kau akan melihat segala sesuatu tumbuh dan berkembang, memberi hidup baru dan kegembiraan baru bagimu.

31

Ayat-ayat Tuhan itu tersimpan di hati langit yang paling rahasia. Suatu hari, seperti hujan, ayat-ayat Tuhan itu akan jatuh dan menyebar, sehingga misteri Keilahian akan tumbuh menghijau di seluruh dunia.

32

Jika kau berputar mengelilingi matahari, maka kau pun akan menjadi matahari. Jika kau berputar mengelilingi seorang Guru, maka kau pun akan bersatu dengan-Nya. Kau akan menjadi sebutir permata, jika kau menari mengelilingi-Ku. Dan kau akan berkelip seperti emas, jika kau menari mengelilingi-Nya.

33

Kau hanya memerlukan aroma anggur, karena makrifat akan menyala dengan sendirinya dari kesunyian hatimu setelah mencium aroma anggur itu, seperti juga nyala api akan tersilap dan berkobar dari aroma anggur! Bayangkan jika kau adalah anggur itu sendiri.

34

Sufi adalah seorang lelaki atau seorang perempuan yang telah patah hati terhadap dunia.

35

Kekasih, beri aku kesempatan untuk selalu mengetahui bagaimana cara menyambut-Mu, dan sulutkanlah obor di tangan-Mu agar membakar habis rumah ke-ego-an di dalam diriku.

36

Sembunyikan rahasia-Ku di dalam harta karun jiwamu. Sembunyikan perasaan ekstase itu di dalam dirimu. Jika kau menemukan Aku, maka sembunyikan Aku di dalam hatimu. Sadarilah kemabukan ini sebagai Kebenaran Mutlak!

37

Ingatlah bahwa Nabi Muhammad pernah berkata: “Satu penglihatan tentang-Nya adalah suatu berkah yang tak terhingga.” Setiap daun dari suatu pohon membawa suatu firman dari dunia yang tak terlihat. Lihatlah, tiap-tiap daun yang jatuh ke tanah sebagai suatu berkah dari-Nya. Segala sesuatu di alam ini senantiasa menari dalam harmoni, bernyanyi tanpa lidah, dan mendengar tanpa telinga, ya, semua itu adalah berkah yang tak terhingga dari-Nya.

38

Isi aku dengan anggur dari sunyi-Mu, biarkan anggur itu merendam pori-poriku, hingga Keindahan dari Yang Maha Agung akan terungkap bagiku. Inilah arti berkah bagiku!

39

Jika kau mendefinisikan dan membatasi “Aku” dengan berbagai konsepmu, maka kau akan kelaparan dengan dirimu sendiri. Lalu “Aku” pun akan jatuh ke dalam suatu kotak yang terbuat dari kata-kata, dan kotak itu adalah peti mayatmu sendiri.

40

Aku tidak tahu siapa sebenarnya “Aku”. Tetapi, ketika aku berjalan ke dalam diriku sendiri, maka aku pun terkejut: ternyata “Aku” adalah suara milik-Mu, gema yang terpantul dari “Dinding-Keilahian”.

41

Jatidiri kita adalah Cahaya. Cinta-Ilahi adalah Matahari-Keagungan. Sinar-Nya adalah firman. Dan mahluk adalah bayang-bayang-Nya.

42

Perkecillah dirimu, maka kau akan tumbuh lebih besar dari dunia. Tiadakan dirimu, maka Jatidirimu akan terungkap tanpa kata-kata.

43

Ketika kami mati, jangan cari pusara kami di bumi. Tetapi, temukan di dalam hati para pecinta.

44

Ketika pikiran dilampaui, maka keindahan cinta pun datang menghampiri, berjalan dengan anggun, serta membawa secangkir anggur di tangannya. Ketika cinta dilampaui, maka Yang Maha Esa pun datang menghampiri – Ia adalah Zat yang tak dapat diuraikan dengan kata-kata dan hanya bisa disebut sebagai “Itu”.

45

Setiap orang yang tinggal jauh dari sumber-Nya, dari Jatidirinya, maka ia akan selalu rindu untuk kembali ke masa ketika ia masih dipersatukan dengan-Nya.

46

Surga dibuat dari asap hati yang terbakar habis. Dan orang yang diberkahi oleh Tuhan adalah orang yang hatinya telah terbakar habis.

47

Awan-awan berada dalam keheningan meski penuh dengan berjuta kilat. Cinta akan memberi kelahiran baru bagi para filsuf berkepala batu. Jiwaku adalah ombak di dalam samudera kemuliaan-Mu. Dan di dalam keheningan: alam semesta beserta segala isinya tenggelam di dasar samudera kemuliaan-Mu.

48

Manusia ibarat suatu pesanggrahan. Setiap pagi selalu saja ada tamu baru yang datang: kegembiraan, kesedihan, ataupun keburukan; lalu kesadaran sesaat datang sebagai suatu pengunjung yang tak diduga. Sambut dan hibur mereka semua, sekalipun mereka semua hanya membawa dukacita. Sambut dan hibur mereka semua, sekalipun mereka semua dengan kasar menyapu dan mengosongkan isi rumahmu. Perlakukan setiap tamu dengan hormat, sebab mereka semua mungkin adalah para utusan Tuhan yang akan mengisi rumahmu dengan beberapa kesenangan baru. Jika kau bertemu dengan pikiran yang gelap, atau kedengkian, atau beberapa prasangka yang memalukan, maka tertawalah bersama mereka dan undanglah mereka masuk ke dalam rumahmu. Berterimakasihlah untuk setiap tamu yang datang ke rumahmu, sebab mereka telah dikirim oleh-Nya sebagai pemandumu.

49

Saat kau datang ke dunia ini, suatu tangga telah ditempatkan di depanmu, dan tangga itu akan mengantarmu kepada-Nya. Dari bumi ini, kau pun naik menjadi tumbuhan. Dari tumbuhan kau pun naik menjadi hewan. Setelah itu kau pun naik menjadi manusia – mahluk yang mewarisi pengetahuan melalui akal dan iman. Lihatlah, tubuhmu merupakan turunan dari debu, tetapi bagaimana bisa tubuhmu menjadi begitu sempurna? Lalu, mengapa kau takut dengan kematian? Ketika kau berhasil melampaui bentuk manusia ini, maka tak diragukan lagi kau akan menjadi malaikat dan membumbung melampaui lapisan-lapisan langit tertinggi. Tetapi, janganlah berhenti di sana, bahkan badan surgawimu itu akan tetap tumbuh menjadi tua, lampaui lagi surga itu dan melompatlah ke dalam “Samudera Kesadaran Yang Maha Luas”. Biarkan dirimu – yang bagaikan setetes air itu – menjelma menjadi seratus samudera. Tetapi, jangan berpikir bahwa hanya setetes air itulah yang telah menjelma menjadi samudera, sebab samudera juga telah menjelma menjadi setetes air.

50

Sssttt! Diamlah! Dengarkan suara dalam dirimu. Ingatlah firman pertama-Nya: “Kita melampaui setiap kata.”





Biodata Singkat Jalaluddin Rumi



Rumi – nama lengkapnya, Maulana Jalaluddin Rumi Muhammad bin Hasin al-Khattabi al-Bakhri – lahir di Balkh (Afghanistan sekarang) pada tanggal 30 September 1207. Para Orientalis di Barat mengakui Rumi sebagai penyair yang terbesar dari semua penyair mistik yang pernah ada dalam peradaban Islam. Dan para sufi di Timur Tengah mengakui bahwa karya-karyanya dianggap sebagai Al-Qur’an kedua karena kedalaman maknanya. Jalaluddin Rumi adalah pendiri “Tarekat Mevlevi” di Turki. Sebelum Perang Dunia II, pengikut Tarekat Mevlevi berjumlah 100.000 yang tersebar di seluruh Balkan, Afrika, dan Asia. Tidak ada penyair di dalam sejarah – tidak juga Shakespeare Atau Dante – yang secara nyata mempunyai dampak pada peradaban seperti yang dilakukan oleh Rumi. Dan tak ada puisi yang mampu membangkitkan ekstase mistik dan kebahagiaan kepada pembacanya seperti puisi-puisi yang ditulis oleh Rumi.



Rumi adalah satu pribadi di antara sedikit pribadi di bumi yang memiliki kesadaran universal – selain Ramakrishna, Aurobindo, dan Kabir – yang dihasilkan oleh agama, dan telah mewarnai kehidupan serta peradaban manusia dengan kemuliaan cinta. Maka, pada saat ini, ketika kita membutuhkan suatu inspirasi untuk mencintai dunia yang tengah terancam kehancuran, ketika kita sudah melupakan identitas Keilahian, kebahagiaan, serta tanggung jawab kemanusiaan kita, Rumi hadir sebagai seorang pemandu dan seorang saksi atas kemuliaan Tuhan serta keagungan jiwa manusia. Rumi hadir membawa esensi agama yaitu cinta yang universal. Bagi Rumi, cinta melebihi semua dogma agama, cinta hadir untuk memeluk keseluruhan ciptaan, cinta adalah hakekat agama yang mempersatukan seluruh umat manusia dalam cahaya Keilahian.
Selengkapnya →
Minggu, 16 Juni 2013

Jika Memang Takdirku

Kutitipkan catatan luka pada sang malam
Ketika bulan hanya separuh terlihat
Dibatas kepenatan kembara menyusuri kebekuan
Mengulas ketiadaberdayaan rasa menyulam tawa
Lukisan biru yg mesti terpagut disela gigil perihku
Bahkan sang waktupun mulai beranjak pergi
Bersembunyi dalam wajah keriputnya sang buana
Hanya melambaikan sedepa lengannya pada kaki kaki langit yg tegas
Tinggalkan sosok diri yg terpaku bisu, ditelan hampa
Dan aku kian terpuruk dalam kelam nya sang kegelapan
Kutitipkan catatan luka pada sang malam
Ketika bulan hanya separuh terlihat
Dibatas kepenatan kembara menyusuri kebekuan
Mengulas ketiadaberdayaan rasa menyulam tawa
Lukisan biru yg mesti terpagut disela gigil perihku
Bahkan sang waktupun mulai beranjak pergi
Bersembunyi dalam wajah keriputnya sang buana
Hanya melambaikan sedepa lengannya pada kaki kaki langit yg tegas
Tinggalkan sosok diri yg terpaku bisu, ditelan hampa
Dan aku kian terpuruk dalam kelam nya sang kegelapan
Pada pekat yg hitam
Pada legam yg menawan
Pada kelam yg gemulai
Bahkan pada hampa yg lembut
Jiwa larut dalam kepasrahan diri
Hati tiada berbantah pada kebenaran nan hakiki
Melangkah diatas jalanan yg telah tersurat, jika ini memang takdir ku ?

Selengkapnya →

Lara


Jemari menari, menggemuruh dibalik irama risau
Menggores aksara, merenda makna di atas tinta emas
Jatuh berkeping duka, terurai diantara geliat ruh ruh kata yg menggenangi rasa
Mengarsir legam di kebiruan bejana hening ruang jiwa
Lalu sang ceria pun beranjak pulang, tinggalkan sosok dalam kelaraan
Bernaung dalam kasih, bersandar dibalik tarian warna pelangi
Berharap tiada teracik luka disela kepak kepak cinta
Namun duka seakan tiada bermata, bertandang lurus memeluk kisah
Menguak tabir luka, kala sisi sisi kelam cinta tergerai lepas
Memateri noktah hitam di kedalaman jiwa, terasa perih
Menghempaskan kalbu hingga terjajar rebah ke ceruk jurang kepedihan
Bukankah cinta itu indah ?
Laksana semburat jingga penuh warna pelangi yg tengah tersenyum
Namun mengapa dalam pelukan kami, hanya menyisakan dua warna yg sama ?
Hitam..,dan hitam
Dan hanya menyisakan sebaris perih dari balik luka yg menganga
Cinta…tak nyana, gaung mu hanya mencipta lukisan kelam
Selengkapnya →

Merpati Desa

Merpati itu terbang tinggi,
untuk kesekian kalinya meninggalkan sangkar.
Diturutkanya kata hatinya,emosinya,egonya
dan galau cemburunya.
Membawa angan-angannya dari desa,
sejak itu jalannya pintas, tak peduli tata krama.
Sayang sekali suratan takdir menanti, pintupun terkunci,
dan kuncinya patah belah.
Merpati suci tak sadar cuma menganyam mimpi,
mimpi pun buyar menjelang pagi.

Duh..merpati desa tak dengar kata
Terkulai tak berdaya dikilau asmara sesaat,
sebab semuanya cuma fatamorgana.
Mau pulang, hidup kelam pun di jelang
Di ujung nafsu pasrahmu tak rela,
Ketika senja ; diri penuh noda


by : ken
Selengkapnya →

Takdir

 
http://lakonhidup.files.wordpress.com/2013/04/takdir-ilustrasi-rendra-purnama.jpg

















“JADI, … kamu ingin Tuhan menghidupkan kekasihmu kembali?”
“Iya!”
Aku sedang berlari dan itu hari kelima aku berlari. Dengan dada yang sesak. Kesedihan yang menikam. Juga marah semarah-marahnya kepada Tuhan!
Lalu aku sampai di hadapan laki-laki ini. Laki-laki berserban putih dan berpakaian serba putih. Dia tentu bukan Tuhan yang sedang aku cari, tetapi aku rasa dia wakil-Nya. Bukankah orang yang saleh itu dekat dengan Tuhan? Orang yang dekat dengan Tuhan tentu boleh berbicara mengatasnamakan Tuhan.
“Permintaanmu aneh! Mustahil bagi-Nya menghidupkannya kembali di dunia ini.”
“Mustahil? Adakah sesuatu yang mustahil bagi Allah?”
“Maksudku, suamimu itu mustahil hidup kembali.”
“Begitu lemahkah Allah sehingga untuk menghidupkan satu nyawa saja Dia tidak sanggup? Allah tentunya Maha Kuasa, bukan, Kek?”
“Bukan begitu masalahnya, cucuku!”
“Sudahlah, kumohon Kakek tidak menolak permintaanku. Aku hanya ingin Kakek berdoa kepada-Nya agar kekasihku itu hidup kembali. Hanya berdoa, Kek!”
“Kamu depressi, cucuku! Kamu terlalu sedih dengan musibah yang menimpamu.”
“Iya, Kakek. Aku memang depressi, aku memang sedang kurang waras! Aku mengerti, Kek. Tetapi, apakah Kakek tidak mau berdoa untukku? Andai aku selama ini dekat dengan- Nya aku bisa meminta sendiri, tidak perlu meminta bantuan Kakek.”
Kulihat orang yang kupanggil dengan sebutan kakek itu terdiam. Mungkin dia sedang mempertimbangkan permintaanku yang sepele itu.
“Tidak bisa, cucuku!”
“Tidak bisa? Mengapa tidak bisa? Bukankah Kakek selalu berdoa kepada Tuhan?”
“Tapi, aku tidak pernah berdoa kepada Allah untuk menghidupkan orang yang telah mati. Aku orang biasa, bukan nabi. Lagi pula apa perlunya aku berdoa— maaf ya, cucuku—konyol demikian!”
“Jangan salah, Kakek. Ini sangat perlu dan ini juga bukan konyol. Aku sangat mencintai lelakiku itu. Dia adalah kebahagianku, Kek. Kami baru menikah, kami baru merayakan cinta kami yang suci! Jadi, jika dia tidak bisa hidup kembali, sebaiknya aku mati saja!”
“Sabarlah, cucuku! Jangan berkata begitu….”
“Kakek, apa bedanya berdoa untuk meminta rezeki dengan berdoa untuk menghidupkan lelakiku itu?”
Kakek tersenyum, entah apa maksudnya.
“Sudahlah, cucuku! Saat ini aku tidak bisa menjelaskan kepadamu panjang lebar. Yang pokok, kamu harus sabar. Kamu harus terima kematian lelakimu itu. Sebab, semua orang akan mati. Semuanya telah ditentukan oleh Allah!”
“Begitukah? Apakah rezeki manusia belum ditentukan oleh Allah sehingga kita masih patut berdoa untuk memintanya?”
“Rezeki dan kematian manusia sudah ditentukan oleh-Nya.”
“O, jika benar demikian, tidak perlu lagi kita berdoa dan berusaha?”
“Tidak demikian. Rezeki dan kematian sudah ditentukan oleh-Nya, tetapi kita tak tahu ketentuan-Nya itu seperti apa. Karena itu, rezeki harus dikejar dan kematian harus dihindari.”
Aku mengernyitkan dahi. Ada yang kurasa masih samar. Mungkin karena jiwaku masih lelah, kejernihan pikiranku tidaklah sempurna.
“Jadi, apa perlunya kita menyakini ketentuan Tuhan atas kematian atau rezeki itu, Kakek?”
“Pertanyaan yang bagus, cucuku. Sungguh tak dapat dimungkiri bahwa soal kelahiran, soal kematian, soal rezeki, soal jodoh, dan banyak hal lainnya adalah hal-hal penting dalam hidup manusia. Sementara, manusia tidak dapat mengendalikan banyak aspek dari hal-hal itu secara mutlak. Kita berusaha terhindar dari kematian mendadak, tetapi bisa saja kecelakaan menimpa kita dan tewaslah kita seketika. Ini seperti yang dialami lelakimu.”
Aku mulai mengerti. Aku merasakan ada seberkas cahaya menyinari pikiranku.
“Cucuku, kau terlalu lelah lahir dan batin. Istirahatlah dulu. Kita teruskan diskusi ini lain waktu.”
“Baiklah, kakek, kalau begitu. Aku akan datang kembali ke tempat ini bila aku telah waras dan aku akan siapkan waktu hingga tuntas Kakek menjelaskan kepadaku.”
***
Seminggu kemudian, aku kembali ke tempat kakek berada. Syukur, tidak sulit menemukannya kembali. Kali ini dia tidak serba putih. Dia memakai kaos oblong warna hitam dan celana komprang pendekar. Bagiku tak penting benar apa yang dikenakan kakek ini sebab yang penting bagiku adalah kata-katanya!
“Cucuku, selembar daun kering yang jatuh di malam yang gelap Allah Tahu dan Allah Berkuasa atasnya. Daun itu mula-mula layu lalu kering karena sebuah proses alamiah, setelah itu ia luruh dari batang pohon dan melayang di udara, ia akan jatuh di mana itu adalah terserah angin yang menghembusnya. Tetapi, kalau Allah menghendaki, bisa saja daun itu tertahan di udara. Tetapi, jika daun itu jatuh ke tanah secara alamiah maka itu adalah kehendak Allah juga. Hanya saja, ini adalah kehendak Allah yang tidak ajaib menurut mata manusia.”
“Teruskan, Kek. Aku mulai paham.”
“Daun tidak bisa memilih tindakannya karena memang demikianlah takdir untuknya. Sementara, manusia dapat memilih tindakannya. Manusia memiliki akal dan hati. Kemampuan manusia ini adalah takdir Allah untuk manusia. Atau, dengan kata lain, kebebasan memilih itu adalah takdir Allah atas penciptaan manusia. Namanya ‘sudah takdir’ maka manusia tidak bisa mengelak dari hukum kebebasan berkehendak dalam dirinya, sekuat apa pun dia menolaknya.”
Emm… Teruskan, kakek!”
“Allah tetap memiliki kekuasaan-Nya pada perbuatan manusia yang dihasilkan dari kebebasannya untuk bertindak itu. Ketika suatu perbuatan terjadi atas keinginan manusia maka Allah berkuasa untuk ‘membiarkan’ perbuatan itu secara seharusnya. Pembiaran ini adalah kehendak-Nya juga yang berasal dari kekuasaan Mutlak-Nya. Jadi, jika sesuatu terjadi, maka itu adalah atas kehendak Allah, sama juga bila sesuatu itu tidak terjadi maka itu juga atas kehendak Allah.”
“Dalam kata lain, kekuasaan Allah itu mutlak atas segala sesuatu. Kekuasaan mutlak itu dicirikan dengan bahwa kekuasaan-Nya itu meliputi segala sesuatu tanpa kecuali, begitu ya, Kakek?”
“Benar. Kau sudah bisa menyimpulkan. Bagus-bagus. Apa ini berarti kamu sudah mulai melupakan kesedihanmu itu? Cepat sekali. Satu minggu kau sudah dapat menguasai diri.”
“Alhamdulillah, Kakek. Pertemuan dengan Kakek minggu kemarin sangat berarti bagi ketenangan jiwaku. Tetapi, Kakek, bolehkah diskusi ini kita lanjutkan? Bagaimana dengan orang yang mati membunuh dirinya? Apakah kematiannya itu telah ditentukan oleh-Nya atau karena pilihan bebasnya?”
“Begini, dalam pandangan mata manusia tentu saja orang itu berkehendak bebas sehingga bunuh diri itu terjadi karena kehendaknya. Tetapi, tentu saja bahwa hal itu sudah merupakan ‘ketentuan atau takdir- Nya’. Ketentuan itu telah ditetapkan zaman asal atau, sering disebut zaman azali. Nah, di sini otak manusia tak mampu memahami hakikat zaman azali.”
“Mengapa tak mampu, Kek?”
Ketahuilah bahwa Allah SWT itu bersifat Awal dan Akhir. Otak manusia hanya memahami bahwa yang awal pasti bukan yang akhir. Yang akhir pasti bukan yang awal. Bagaimana sesuatu yang awal itu menjadi yang akhir atau sebaliknya? Sampai kapan pun akal manusia tak dapat memahaminya. Otak manusia berjalan pada ruang logis dan kronologis.”
“Ini menarik, Kek.”
“Contoh lain, Allah itu Dhohir (tampak) dan Bathin (tak tampak). Dua hal yang bertentangan dalam satu hakikat tentu saja tidak masuk akal atau mustahil menurut akal. Tetapi, Allah yang Mahatinggi mutlak memiliki sifat atau kualitas demikian. Jadi, tidak bisa dipahami hakikat keilahian Allah jika yang kita gunakan adalah akal kita an sich. Otak kita tidak dalam kapasitas untuk itu. Dalam sebuah sabdanya, Nabi Muhammad melarang kita berpikir tentang Zat Allah, dia menganjurkan kita untuk berpikir tentang ciptaan-ciptaan-Nya saja.”
“O begitu ya, Kek. Kalau begitu, Nabi kita itu sangat bijak ya, Kakek. Dia tahu bahwa sebagian manusia akan mengarahkan pikirannya ke sana sehingga dia perlu memberi warning.”
Nah, aku jadi ingat, bijaksana! Al-Hakim! Allah SWT Mahabijaksana. Tadi aku jelaskan bagaimana Allah itu berkuasa mutlak. Tetapi, ingatlah bahwa Allah SWT juga Mahabijaksana atau al-Hakim. Sehingga kehendak-Nya atau kekuasaan-Nya yang mutlak itu sejalan dengan hikmah kebijaksanaan-Nya. Hikmah kebijaksanaan-Nya itu yang pertama merupakan hukum keadilan (sebab-akibat). ”
“Kakek, berhentilah dulu. Jangan panjang-panjang. Aku perlu mencernanya pelan-pelan.”
Dia menghentikan kata-katanya, memberiku kesempatan untuk bernapas sejenak tanpa beban berpikir.
“Cukup? Aku lanjutkan. Dari pengertian ini, maka perbuatan atau kehendak bebas manusia dijamin oleh Allah SWT. Aku ingin menyatakan di sini bahwa Allah SWT hanya sesekali ikut campur sehingga tidak mengikuti hukum sebab-akibat ini—setidaknya menurut pengamatan manusia. Contohnya, ketika Dia membuat api menjadi dingin bagi Nabi Ibrahim. Laut yang tenang tiba-tiba terbelah memberi jalan untuk Musa dan pengikutnya.”
“Kalau begitu kita cukup mengandalkan kemampuan diri sendiri dan apa yang telah diberikan Allah dalam alam raya ini. Kita tidak perlu memohon bantuan dan pertolongan-Nya sebab segala sesuatu umumnya hanya bertumpu pada hukum keadilan Allah alias hukum sebab-akibat?”
“Ya dan tidak!”
“Ya dan tidak? Jangan Kakek membuatku bingung.”
“Orang-orang yang tidak beriman kepada Allah dan tidak pula yakin akan adanya bantuan dan campur tangan Allah, bolehlah dia menganggap sepi Allah. Bolehlah dia bertindak hanya dengan percaya kepada kemampuannya, percaya pada hukum sebab-akibat saja. Tetapi manusia yang beriman tidak boleh demikian. Dia, sebaliknya, diperintahkan untuk berdoa, diperintahkan untuk percaya pada bantuan Allah, diperintahkan untuk yakin adanya campur tangan Allah dalam kehidupannya.”
“Bagaimana cara Dia membantu urusan kita, Kek?”
“Dia Mahacanggih sehingga Dia bisa bantu kita dengan berbagai cara yang kita sendiri mungkin tidak menyadarinya. Dan, salah satunya ialah melalui hati. Allah senantiasa berkuasa atas hati kita.”
“Maksud Kakek, Allah membisiki hati manusia atau ada makhluk lain yang ditugaskan, malaikat, misalnya?”
“Benar kamu.”
***
“Kakek, sekarang ini sudah jam satu siang. Aku belum makan sejak pagi. Seandainya sekarang ini aku berdoa kepada Allah agar Dia mendatangkan dua piring nasi gudek— yang sepiring untuk aku dan yang sepiring lagi untuk Kakek—apakah, satu, Dia akan memenuhi permintaanku itu dan dua, apakah aku patut berbuat demikian?”
“Dia pasti insya Allah tidak akan mendatangkan dua piring nasi gudek itu.”
“Mengapa begitu, Kek?”
“Allah bertindak dengan kebijaksanaan. Bukan dengan kesembronoan. Ini adalah kepastian.”
“Oke! Ini berarti aku tidak patut melakukan doa yang semacam itu ya, Kek. Tetapi, seandainya aku benar-benar haus akan bukti yang bisa membuat hatiku mantap terhadap perkara bantuan Allah ini, bolehkah aku berdoa yang semacam itu?”
“Boleh saja. Tetapi, Allah-lah yang mempertimbangkan kepatutanmu untuk mendapatkan keajaiban itu. Dan, yang penting bahwa kamu juga siap menerima risikonya.”
“Risiko, apa maksudnya, Kakek?”
“Bagaimana seandainya Allah SWT tidak kunjung menunjukkan keajaiban yang kamu minta itu, apakah kamu sanggup menderita batin sebab menunggu-nunggu dan menduga-duga?”
“O… gitu ya, Kek?”
“Dan, bila akhirnya Dia tidak berkenan, apakah kamu mau menjadi orang kafir? Siapkah kamu menjadi orang kafir?”
“He..he…he… kok jadinya bisa begitu!”
“Orang-orang dahulu di zaman Nabi meminta keajaiban. Bahkan, ketika keajaiban itu benar-benar ditunjukkan, orang-orang tersebut tetap dalam kekafiran.”
“Bagaimana dengan orang-orang sesudah nabi, aku dengar mereka juga mengalami keajaiban-keajaiban. Benarkah ini, Kakek?”
“Benar sekali. Mereka adalah para waliyullah. Mereka adalah orang-orang yang berada di garis depan dalam bertaat kepada Allah. Mereka tidak meminta keajaiban seperti kamu—maksudku, seperti yang kamu rencanakan dan omongkan tadi. Mereka mendapatkan keajaiban adalah tanpa mereka minta.”
Wah, hebat sekali mereka. Aku ingin menjadi waliyullah seperti mereka. Kenalkan aku kepada mereka, Kek?”
“Tetapi, apa kamu yakin bahwa kamu bisa menjadi waliyullah?”
“Bukankah kita bebas untuk menjadi apa, sesuai dengan keinginan kita? Dan, bahwa Allah yang Mahabijaksana menjamin kebebasan kita itu. Sehingga, jika aku sungguh-sungguh menempuh jalan ini maka Dia pasti akan menolongku dan membantuku. Begitu kan, Kek? Kakek ini pasti menguji aku, iya kan?”
“Kamu lulus, cucuku!”
Aku merasa senang mendengar predikat “lulus” itu. Kini hatiku serasa seluas samudera. Tidak ada lagi dalam hatiku kesedihan sebab lelakiku yang telah tiada. Aku rasa yang terpenting buatku sekarang adalah mejalani hidup ini penuh optimisme sebab kini aku tahu secara pasti bagaimana menempatkan kebebasanku berbuat dalam kerangka ikhtiar dan bagaimana aku sangat yakin bahwa Allah akan mengulurkan tangan-Nya untukku.
“Kamu melamun, cucuku?”
“Oh ya…!” (*)


(Cerpen,As Sidqon).Subah, 22 Januari 2013
Penulis lahir di Batang, 6 Januari 1970. Saat ini tinggal di Kompleks Ponpes Subhanah, Subah, Batang, Jawa Tengah.
Selengkapnya →