Sebulan sebelumnya.
174 lembar quarto berhuruf times new roman berspasi 2, ada dalam jinjingan tangan saya. Saya masih berdiri dengan kaki bergetar. Saya lupa sejak kapan saya berdiri. Menunggui profesor itu keluar dari deret meja para petinggi cendekiawan kampus ini.
Dan tentang bagaimana saya lupa dengan waktu, sebab saya sibuk merekam sosoknya. Kepala itu seperti hard disc berkapasitas ratusan gyga, yang mampu merekam jutaan file. Bibir hitam itu seperti sound yang siap untuk di play dalam ia melantunkan petuah tinggi. Jari-jari beruas panjang itu begitu luwes dalam menarikan pena. Saya tidak tahu apakah ini sekedar kagum ataukah cinta.
Setelah keluar ia dari deret meja itu. Ia berjalan lantas berlalu begitu saja di hadapku. Saya tak memanggilnya, ia juga tak melemparkan pupil hitamnya pada saya. Saya seperti benda mati pelengkap ruang. Yang hanya tukang berkalung handuk bebau keringat, beserta sulak bulu ayam ditangannya saja yang peduli pada saya. Sebab sejenak saya menjelma jadi benda.
“Prof... saya butuh bantuan anda. Sungguh sangat butuh!” kataku, dengan suara tercekat di pangkal tenggorokan, ketika saya beranikan diri mengetuk pintu apartemennya. Mesti kumpulkan nyali hingga menjelang mati, sebab saya memang hendak mati karenanya.
Profesor itu masih berdiri selayak Zeuz di altar pengorbanan yang kental wibawa nan gagah. Sementara saya masih menunggu jawabannya dengan dada berdegub tiada tenang. Lalu, “Shella...!” getar suaranya.
“Saya harus lulus semester ini Prof, jadi tolong saya” kataku.
“Mengapa?”
“Seperti yang Profesor banyak ajarkan pada kami. Sayapun miliki mimpi,” jawabku.
“Kau mau mengejar mimpi ataukah hanya sekedar cepat lulus?” tanya Profesor dengan mata lekat. Pupil hitam kecoklatan itu yang buat dada saya kian terguncang. Lalu saya menjawab; “Mimpi...”
“Sungguh?” tanyanya tandas. “Iya” jawabku parau.
“Jika demikian, maukah kau jadi pelacur?” ucapnya.
“Hah...?” saya terkejut.
“Iya, pelacur yang berikan jiwa dan raganya seluruh penuh kepada ilmu dan iman. Tenang saja saya ada dalam barisan Tuhan,” katanya. Lalu saya tersenyum. Sebuah senyum yang mewakili segala jawaban atas pintanya.
Hingga hari ini kata-katanya begitu membekas dalam pikiran saya. Menjalar mengakar mendarah daging penuh. Memenuh hati hingga jadilah karakter saya.“Mimpi adalah bagian dari kodrat manusia. Warisan Tuhan yang merasuk selayak wahyu. Mimpi adalah awal untuk engkau jadikan diri manusia sejati. Hiduplah dengan hak, seperti hak untuk lahir kedunia ini. Lalu berjalanlah secara mandiri, dengan tidak bergantung pada apapun selain Tuhan. Itulah mandiri.
Lalu selami jiwamu untuk mengenal siapa engkau. Dan dengan potensi, bakat yang engkau miliki. Jadilah pemimpin di muka bumi sesuai kodrat dan iradatmu. Jika kau adalah seorang dokter maka jadilah dokter yang baik, yang mengamalkan nilai ketuhanan. Dan jika engkau adalah seorang tukang becak, maka jadilah tukang becak yang baik dan jujur. Jalani kesemua dengan satu hal, “Ikhlas” dan kau akan jadi sang pemenang. Untuk bekal dirimu menjalani kehidupan panjang setelah kematian.”
Setelah saya bergelar dokter. Tepat tiga tahun setelah peristiwa ketika saya relakan diri untuk melacur diri pada ilmu dan iman. Saya menerima sebuah lembar proposal dari Profesor itu.
Profesor muda yang usianya dua tahun lebih tua dari saya. Proposal itu berupa pengajuan diri untuk meminang saya. Dilampirannya ada sebuah cincin berlian nan indah, lalu sebuah rumah dan satu buah mobil Toyota Alphard. Itu untuk saya.
Dan saya menjawab; “Anda mau saya melahirkan berapa anak...?”
*( Ketua bidang eksternal PMII Komisariat Dukuhwaluh /
Mahasiswa FKIP, Prodi PGSD Smt. VII )
0 komentar :
Posting Komentar