
Mereka menggunakan bahasa untuk menjalankan strategi the art of being nonsense. Kata-kata
yang disampaikan oleh politisi di panggung politik jarang kita temukan
buktinya. Jangankan kata-katanya setajam pedang, kita justru melihat kata-kata
yang setumpul pikiran penuturnya.
Kelompok kedua yang serampangan dalam menggunakan kata
adalah para alayers. Mereka menulis
dengan cara akrobatik dan tidak risau menampakkan gejala-gejala dangkal pada
pemikiran mereka. Cara menulis Alay
adalah mode, seperti selayaknya fashion, gaya rambut, music dan lainnya. Alay adalah strategi remaja untuk
menyatakan keberadaan dan membedakan diri. Sebagian nanti akan jemu dan
merasakan strategi ini sudah tidak layak. Sebagian lagi mungkin tidak bisa
menentukan alternative lain dan tetap mempertahankannya kendati sudah tua.
Artinya, mereka tetap remaja. Mereka tidak bisa mematangkan diri, bahkan
mungkin sampai tumbuh uban di rambut.
Kelompok ketiga yang memiliki kecenderungan lebay dalam
berahasa adalah para motivator atau orang-orang yang memiliki hasrat meluap
untuk menjadi motivator. Mereka meyakini bahwa perubahan dimulai dari
penggunaan bahasa, banyak dari mereka gagal mengerem diri sendiri dari upaya
berlebihan. Misalnya, mereka tidak mau menggunakan “Selamat pagi!” tetapi
memilih “Semangat pageeeee!”.
*Rewrite dari
artikel karya A. S. Laksana dengan judul “Le Mot Juste” di rubrik Ruang Putih,
Jawa Pos edisi Minggu, 21 Oktober 2012
0 komentar :
Posting Komentar