Senin, 17 Juni 2013

Puisi kasih " Jalaluddin Rumi "


1

Aku bukanlah orang Nasrani, Aku bukanlah orang Yahudi, Aku bukanlah orang Majusi, dan Aku bukanlah orang Islam. Keluarlah, lampaui gagasan sempitmu tentang benar dan salah. Sehingga kita dapat bertemu pada “Suatu Ruang Murni” tanpa dibatasi berbagai prasangka atau pikiran yang gelisah.

2

Di dalam cahaya-Mu aku belajar mencintai. Di dalam keindahan-Mu aku belajar menulis puisi. Kau senantiasa menari di dalam hatiku, meski tak seorang pun melihat-Mu, dan terkadang aku pun ikut menari bersama-Mu. Dan “ Penglihatan Agung” inilah yang menjadi inti dari seniku.

3

Hakikat Yang Maha Pengasih hadir secara langsung laksana sinar matahari yang menerangi bumi. Namun, kasih-Nya tidaklah berasal dari berbagai bentuk yang ada di bumi. Kasih-Nya melampaui setiap bentuk yang ada di bumi, sebab bumi ini dan segala isinya tercipta sebagai perwujudan dari kasih-Nya.

4

Jika kau ingin melihat wajah-Nya, maka tengoklah pada wajah sahabatmu tercinta.

5

Sekian lama aku berteriak memanggil nama-Mu sambil terus-menerus mengetuk pintu rumah-Mu. Ketika pintu itu terbuka, aku pun terhenyak dan mulai menyadari sesungguhnya selama ini aku telah mengetuk pintu dari dalam rumahku sendiri.

6

Demi Allah, ketika kau melihat Jatidirimu sebagai Yang Maha Indah, maka kau pun akan menyembah dirimu sendiri.

7

Di mana saja kau berada, apa pun keadaanmu, cobalah selalu menjadi seorang pecinta yang senantiasa dimabuk oleh kasih-Nya. Sekali kau dikuasai oleh kasih-Nya, maka kau akan hidup menjadi seorang pecinta yang hidup bagaikan dalam pusara. Dan kau akan tetap hidup hingga hari kebangkitan itu tiba, lantas kau pun akan dibawa ke dalam surga dan hidup kekal selamanya. Namun, jika kau belum menjadi seorang pecinta, maka pada hari pembalasan seluruh pahalamu tidak akan dihitung.

8

Pada Hari Kebangkitan, orang-orang akan berjalan sempoyongan. Di depan-Mu, mereka akan menggigil dengan wajah pucat karena ketakutan. Maka, aku akan memeluk kasih-Mu dan berkata kepada mereka: “Mintalah apa pun; mintalah atas namaku.”

9

Ketika aku mati sebagai manusia, maka para malaikat akan datang dan mengajakku terbang ke langit tertinggi. Dan ketika aku mati sebagai malaikat, maka siapa yang akan mendatangiku? Kau tak akan pernah dapat membayangkannya!

10

Hari ini, seperti hari lainnya, kita terjaga dengan perasaan hampa dan ketakutan. Namun, janganlah tergesa melarikan diri dari kenyataan pahit ini dengan pergi berdoa atau membaca kitab suci. Lepaskan semua tindakan mekanis yang berasal ketaksadaran diri. Biarkan keindahan Sang Kekasih menjelma dalam setiap tindakan kita. Ada beratus jalan untuk berlutut dan bersujud kepada-Nya.

11

Diamlah! Cinta adalah sebutir permata yang tak bisa kaulemparkan sembarangan seperti sebutir batu.

12

“Mintalah sesuatu kepada-Ku,” begitu Kau berkata suatu ketika. Aku tertawa dan berkata: “Aku telah cukup bersama-Mu. Tanpa kehadiran-Mu, seluruh dunia ini hanyalah sebatang kayu yang mengapung dan terombang-ambing di samudera-Mu.”

13

Yakinlah, di Jalan-Cinta itu: Tuhan akan selalu bersama-Mu.

14

Tak ada pilihan lain bagi jiwa, selain untuk mengasihi. Namun, pertama kali jiwa harus merangkak dan merayap di antara kaki para pecinta. Hanya para pecinta yang dapat lepas dari perangkap dunia dan akhirat. Hanya hati yang dipenuhi dengan cinta yang dapat menjangkau langit tertinggi. Bunga mawar kemuliaan hanya dapat bersemi di dalam hati para pecinta.

15

Segalanya yang kau lihat mempunyai akarnya di dalam dunia yang tak terlihat. Bentuk akan berubah, namun intisarinya tetaplah sama.

16

Ketika sedih, aku bersinar bagaikan bintang pagi. Ketika patah hati, hakekatku justru tersingkap sendiri. Ketika aku diam dan tenang seperti bumi, tangisku bagaikan guntur yang menggigilkan surga di langit tertinggi.

17

Hati manusia selalu terbuka dan dapat menerima segalanya: semua yang baik dan buruk menjadi bagian dari Sufi.

18

Aku kehilangan duniaku, ketenaranku, dan pikiranku. Ketika matahari terbit, maka semua bayang-bayang lenyap. Aku berlari mendahului bayang-bayang tubuhku yang lenyap saat aku berlari. Namun, cahaya matahari itu berlari mendahuluiku dan memburuku, hingga aku pun terjatuh dan bersujud pasrah ditelan samudera kilau-Nya yang mempesona.

19

Aku ingin melihat wajah-Mu pada sebatang pohon, pada matahari pagi, dan pada langit yang tanpa warna.

20

Karena Cinta segalanya menjadi ada. Dan hanya karena Cinta pula, maka ketiadaan nampak sebagai keberadaan.

21

Badan ini hanyalah suatu cermin surga. Energinya membuat para malaikat cemburu. Kemurniannya membuat malaikat Seraphim terkejut. Dan Iblis yang berdiam di urat-urat syarafmu pun menggigil takut.

22

Kau lebih mahal dibanding surga dan bumi. Apa yang bisa kukatakan lagi? Kau tak mengetahui bahwa selama ini segala yang berharga telah menjadi milikmu. Janganlah menjual dirimu dengan harga murah, sesungguhnya dirimu sangatlah mahal di mata Tuhan.

23

Cintaku pada-Nya adalah hakikat jiwaku. Hidupku adalah gelora yang selalu merindukan-Nya. Aku hidup seperti seorang gipsi pengembara, aku tak pernah menetap di tempat yang sama, namun setiap malam aku selalu bernyanyi dan menari ditemani bintang-bintang di bawah langit yang sama.

24

Kematianku adalah perkawinanku dengan keabadian.

25

Meski aku terbakar habis, namun aku tetap tertawa, karena abuku masih tetap hidup! Aku telah mati ribuan kali: namun abuku selalu menari dan lahir kembali dengan ribuan wajah baru.

26

Di gurun pasir tanpa batas, aku kehilangan jiwaku, dan menemukan bunga mawar ini.

27

Aku telah melihat wajah mulia Sang Raja. Dia adalah mata dan matahari surga. Dia adalah teman seperjalanan dan penyembuh semua mahluk. Dia adalah jiwa dan alam semesta yang melahirkan jiwa-jiwa. Dia menganugerahkan kebijaksanaan pada kebijaksanaan, kemurnian pada kemurnian. Dia adalah tikar sembahyang bagi jiwa orang-orang suci. Setiap atom di tubuhku berlompatan sambil menangis dan berkata: “Terpujilah Tuhan.”

28

Apapun juga yang mereka katakan atau pikirkan, aku tetap ada di dalam Kau, karena aku adalah Kau. Tak seorang pun dapat memahami hal ini, sampai ia mampu melampaui pikirannya.

29

Jika kau dapat bertemu dengan Jatidirimu meski hanya sekali, maka rahasia dari segala rahasia akan terbuka bagimu. Wajah dari Yang Maha Tersembunyi, yang ada di luar alam semesta ini, akan nampak pada cermin persepsimu.

30

Setiap penglihatan tentang keindahan akan lenyap. Setiap perkataan yang manis akan memudar. Namun, janganlah kau berputus asa, karena mereka semua datang dari sumber yang sama, dari Keabadian. Masukilah Keabadian itu, maka kau akan melihat segala sesuatu tumbuh dan berkembang, memberi hidup baru dan kegembiraan baru bagimu.

31

Ayat-ayat Tuhan itu tersimpan di hati langit yang paling rahasia. Suatu hari, seperti hujan, ayat-ayat Tuhan itu akan jatuh dan menyebar, sehingga misteri Keilahian akan tumbuh menghijau di seluruh dunia.

32

Jika kau berputar mengelilingi matahari, maka kau pun akan menjadi matahari. Jika kau berputar mengelilingi seorang Guru, maka kau pun akan bersatu dengan-Nya. Kau akan menjadi sebutir permata, jika kau menari mengelilingi-Ku. Dan kau akan berkelip seperti emas, jika kau menari mengelilingi-Nya.

33

Kau hanya memerlukan aroma anggur, karena makrifat akan menyala dengan sendirinya dari kesunyian hatimu setelah mencium aroma anggur itu, seperti juga nyala api akan tersilap dan berkobar dari aroma anggur! Bayangkan jika kau adalah anggur itu sendiri.

34

Sufi adalah seorang lelaki atau seorang perempuan yang telah patah hati terhadap dunia.

35

Kekasih, beri aku kesempatan untuk selalu mengetahui bagaimana cara menyambut-Mu, dan sulutkanlah obor di tangan-Mu agar membakar habis rumah ke-ego-an di dalam diriku.

36

Sembunyikan rahasia-Ku di dalam harta karun jiwamu. Sembunyikan perasaan ekstase itu di dalam dirimu. Jika kau menemukan Aku, maka sembunyikan Aku di dalam hatimu. Sadarilah kemabukan ini sebagai Kebenaran Mutlak!

37

Ingatlah bahwa Nabi Muhammad pernah berkata: “Satu penglihatan tentang-Nya adalah suatu berkah yang tak terhingga.” Setiap daun dari suatu pohon membawa suatu firman dari dunia yang tak terlihat. Lihatlah, tiap-tiap daun yang jatuh ke tanah sebagai suatu berkah dari-Nya. Segala sesuatu di alam ini senantiasa menari dalam harmoni, bernyanyi tanpa lidah, dan mendengar tanpa telinga, ya, semua itu adalah berkah yang tak terhingga dari-Nya.

38

Isi aku dengan anggur dari sunyi-Mu, biarkan anggur itu merendam pori-poriku, hingga Keindahan dari Yang Maha Agung akan terungkap bagiku. Inilah arti berkah bagiku!

39

Jika kau mendefinisikan dan membatasi “Aku” dengan berbagai konsepmu, maka kau akan kelaparan dengan dirimu sendiri. Lalu “Aku” pun akan jatuh ke dalam suatu kotak yang terbuat dari kata-kata, dan kotak itu adalah peti mayatmu sendiri.

40

Aku tidak tahu siapa sebenarnya “Aku”. Tetapi, ketika aku berjalan ke dalam diriku sendiri, maka aku pun terkejut: ternyata “Aku” adalah suara milik-Mu, gema yang terpantul dari “Dinding-Keilahian”.

41

Jatidiri kita adalah Cahaya. Cinta-Ilahi adalah Matahari-Keagungan. Sinar-Nya adalah firman. Dan mahluk adalah bayang-bayang-Nya.

42

Perkecillah dirimu, maka kau akan tumbuh lebih besar dari dunia. Tiadakan dirimu, maka Jatidirimu akan terungkap tanpa kata-kata.

43

Ketika kami mati, jangan cari pusara kami di bumi. Tetapi, temukan di dalam hati para pecinta.

44

Ketika pikiran dilampaui, maka keindahan cinta pun datang menghampiri, berjalan dengan anggun, serta membawa secangkir anggur di tangannya. Ketika cinta dilampaui, maka Yang Maha Esa pun datang menghampiri – Ia adalah Zat yang tak dapat diuraikan dengan kata-kata dan hanya bisa disebut sebagai “Itu”.

45

Setiap orang yang tinggal jauh dari sumber-Nya, dari Jatidirinya, maka ia akan selalu rindu untuk kembali ke masa ketika ia masih dipersatukan dengan-Nya.

46

Surga dibuat dari asap hati yang terbakar habis. Dan orang yang diberkahi oleh Tuhan adalah orang yang hatinya telah terbakar habis.

47

Awan-awan berada dalam keheningan meski penuh dengan berjuta kilat. Cinta akan memberi kelahiran baru bagi para filsuf berkepala batu. Jiwaku adalah ombak di dalam samudera kemuliaan-Mu. Dan di dalam keheningan: alam semesta beserta segala isinya tenggelam di dasar samudera kemuliaan-Mu.

48

Manusia ibarat suatu pesanggrahan. Setiap pagi selalu saja ada tamu baru yang datang: kegembiraan, kesedihan, ataupun keburukan; lalu kesadaran sesaat datang sebagai suatu pengunjung yang tak diduga. Sambut dan hibur mereka semua, sekalipun mereka semua hanya membawa dukacita. Sambut dan hibur mereka semua, sekalipun mereka semua dengan kasar menyapu dan mengosongkan isi rumahmu. Perlakukan setiap tamu dengan hormat, sebab mereka semua mungkin adalah para utusan Tuhan yang akan mengisi rumahmu dengan beberapa kesenangan baru. Jika kau bertemu dengan pikiran yang gelap, atau kedengkian, atau beberapa prasangka yang memalukan, maka tertawalah bersama mereka dan undanglah mereka masuk ke dalam rumahmu. Berterimakasihlah untuk setiap tamu yang datang ke rumahmu, sebab mereka telah dikirim oleh-Nya sebagai pemandumu.

49

Saat kau datang ke dunia ini, suatu tangga telah ditempatkan di depanmu, dan tangga itu akan mengantarmu kepada-Nya. Dari bumi ini, kau pun naik menjadi tumbuhan. Dari tumbuhan kau pun naik menjadi hewan. Setelah itu kau pun naik menjadi manusia – mahluk yang mewarisi pengetahuan melalui akal dan iman. Lihatlah, tubuhmu merupakan turunan dari debu, tetapi bagaimana bisa tubuhmu menjadi begitu sempurna? Lalu, mengapa kau takut dengan kematian? Ketika kau berhasil melampaui bentuk manusia ini, maka tak diragukan lagi kau akan menjadi malaikat dan membumbung melampaui lapisan-lapisan langit tertinggi. Tetapi, janganlah berhenti di sana, bahkan badan surgawimu itu akan tetap tumbuh menjadi tua, lampaui lagi surga itu dan melompatlah ke dalam “Samudera Kesadaran Yang Maha Luas”. Biarkan dirimu – yang bagaikan setetes air itu – menjelma menjadi seratus samudera. Tetapi, jangan berpikir bahwa hanya setetes air itulah yang telah menjelma menjadi samudera, sebab samudera juga telah menjelma menjadi setetes air.

50

Sssttt! Diamlah! Dengarkan suara dalam dirimu. Ingatlah firman pertama-Nya: “Kita melampaui setiap kata.”





Biodata Singkat Jalaluddin Rumi



Rumi – nama lengkapnya, Maulana Jalaluddin Rumi Muhammad bin Hasin al-Khattabi al-Bakhri – lahir di Balkh (Afghanistan sekarang) pada tanggal 30 September 1207. Para Orientalis di Barat mengakui Rumi sebagai penyair yang terbesar dari semua penyair mistik yang pernah ada dalam peradaban Islam. Dan para sufi di Timur Tengah mengakui bahwa karya-karyanya dianggap sebagai Al-Qur’an kedua karena kedalaman maknanya. Jalaluddin Rumi adalah pendiri “Tarekat Mevlevi” di Turki. Sebelum Perang Dunia II, pengikut Tarekat Mevlevi berjumlah 100.000 yang tersebar di seluruh Balkan, Afrika, dan Asia. Tidak ada penyair di dalam sejarah – tidak juga Shakespeare Atau Dante – yang secara nyata mempunyai dampak pada peradaban seperti yang dilakukan oleh Rumi. Dan tak ada puisi yang mampu membangkitkan ekstase mistik dan kebahagiaan kepada pembacanya seperti puisi-puisi yang ditulis oleh Rumi.



Rumi adalah satu pribadi di antara sedikit pribadi di bumi yang memiliki kesadaran universal – selain Ramakrishna, Aurobindo, dan Kabir – yang dihasilkan oleh agama, dan telah mewarnai kehidupan serta peradaban manusia dengan kemuliaan cinta. Maka, pada saat ini, ketika kita membutuhkan suatu inspirasi untuk mencintai dunia yang tengah terancam kehancuran, ketika kita sudah melupakan identitas Keilahian, kebahagiaan, serta tanggung jawab kemanusiaan kita, Rumi hadir sebagai seorang pemandu dan seorang saksi atas kemuliaan Tuhan serta keagungan jiwa manusia. Rumi hadir membawa esensi agama yaitu cinta yang universal. Bagi Rumi, cinta melebihi semua dogma agama, cinta hadir untuk memeluk keseluruhan ciptaan, cinta adalah hakekat agama yang mempersatukan seluruh umat manusia dalam cahaya Keilahian.
Selengkapnya →
Minggu, 16 Juni 2013

Jika Memang Takdirku

Kutitipkan catatan luka pada sang malam
Ketika bulan hanya separuh terlihat
Dibatas kepenatan kembara menyusuri kebekuan
Mengulas ketiadaberdayaan rasa menyulam tawa
Lukisan biru yg mesti terpagut disela gigil perihku
Bahkan sang waktupun mulai beranjak pergi
Bersembunyi dalam wajah keriputnya sang buana
Hanya melambaikan sedepa lengannya pada kaki kaki langit yg tegas
Tinggalkan sosok diri yg terpaku bisu, ditelan hampa
Dan aku kian terpuruk dalam kelam nya sang kegelapan
Kutitipkan catatan luka pada sang malam
Ketika bulan hanya separuh terlihat
Dibatas kepenatan kembara menyusuri kebekuan
Mengulas ketiadaberdayaan rasa menyulam tawa
Lukisan biru yg mesti terpagut disela gigil perihku
Bahkan sang waktupun mulai beranjak pergi
Bersembunyi dalam wajah keriputnya sang buana
Hanya melambaikan sedepa lengannya pada kaki kaki langit yg tegas
Tinggalkan sosok diri yg terpaku bisu, ditelan hampa
Dan aku kian terpuruk dalam kelam nya sang kegelapan
Pada pekat yg hitam
Pada legam yg menawan
Pada kelam yg gemulai
Bahkan pada hampa yg lembut
Jiwa larut dalam kepasrahan diri
Hati tiada berbantah pada kebenaran nan hakiki
Melangkah diatas jalanan yg telah tersurat, jika ini memang takdir ku ?

Selengkapnya →

Lara


Jemari menari, menggemuruh dibalik irama risau
Menggores aksara, merenda makna di atas tinta emas
Jatuh berkeping duka, terurai diantara geliat ruh ruh kata yg menggenangi rasa
Mengarsir legam di kebiruan bejana hening ruang jiwa
Lalu sang ceria pun beranjak pulang, tinggalkan sosok dalam kelaraan
Bernaung dalam kasih, bersandar dibalik tarian warna pelangi
Berharap tiada teracik luka disela kepak kepak cinta
Namun duka seakan tiada bermata, bertandang lurus memeluk kisah
Menguak tabir luka, kala sisi sisi kelam cinta tergerai lepas
Memateri noktah hitam di kedalaman jiwa, terasa perih
Menghempaskan kalbu hingga terjajar rebah ke ceruk jurang kepedihan
Bukankah cinta itu indah ?
Laksana semburat jingga penuh warna pelangi yg tengah tersenyum
Namun mengapa dalam pelukan kami, hanya menyisakan dua warna yg sama ?
Hitam..,dan hitam
Dan hanya menyisakan sebaris perih dari balik luka yg menganga
Cinta…tak nyana, gaung mu hanya mencipta lukisan kelam
Selengkapnya →

Merpati Desa

Merpati itu terbang tinggi,
untuk kesekian kalinya meninggalkan sangkar.
Diturutkanya kata hatinya,emosinya,egonya
dan galau cemburunya.
Membawa angan-angannya dari desa,
sejak itu jalannya pintas, tak peduli tata krama.
Sayang sekali suratan takdir menanti, pintupun terkunci,
dan kuncinya patah belah.
Merpati suci tak sadar cuma menganyam mimpi,
mimpi pun buyar menjelang pagi.

Duh..merpati desa tak dengar kata
Terkulai tak berdaya dikilau asmara sesaat,
sebab semuanya cuma fatamorgana.
Mau pulang, hidup kelam pun di jelang
Di ujung nafsu pasrahmu tak rela,
Ketika senja ; diri penuh noda


by : ken
Selengkapnya →

Takdir

 
http://lakonhidup.files.wordpress.com/2013/04/takdir-ilustrasi-rendra-purnama.jpg

















“JADI, … kamu ingin Tuhan menghidupkan kekasihmu kembali?”
“Iya!”
Aku sedang berlari dan itu hari kelima aku berlari. Dengan dada yang sesak. Kesedihan yang menikam. Juga marah semarah-marahnya kepada Tuhan!
Lalu aku sampai di hadapan laki-laki ini. Laki-laki berserban putih dan berpakaian serba putih. Dia tentu bukan Tuhan yang sedang aku cari, tetapi aku rasa dia wakil-Nya. Bukankah orang yang saleh itu dekat dengan Tuhan? Orang yang dekat dengan Tuhan tentu boleh berbicara mengatasnamakan Tuhan.
“Permintaanmu aneh! Mustahil bagi-Nya menghidupkannya kembali di dunia ini.”
“Mustahil? Adakah sesuatu yang mustahil bagi Allah?”
“Maksudku, suamimu itu mustahil hidup kembali.”
“Begitu lemahkah Allah sehingga untuk menghidupkan satu nyawa saja Dia tidak sanggup? Allah tentunya Maha Kuasa, bukan, Kek?”
“Bukan begitu masalahnya, cucuku!”
“Sudahlah, kumohon Kakek tidak menolak permintaanku. Aku hanya ingin Kakek berdoa kepada-Nya agar kekasihku itu hidup kembali. Hanya berdoa, Kek!”
“Kamu depressi, cucuku! Kamu terlalu sedih dengan musibah yang menimpamu.”
“Iya, Kakek. Aku memang depressi, aku memang sedang kurang waras! Aku mengerti, Kek. Tetapi, apakah Kakek tidak mau berdoa untukku? Andai aku selama ini dekat dengan- Nya aku bisa meminta sendiri, tidak perlu meminta bantuan Kakek.”
Kulihat orang yang kupanggil dengan sebutan kakek itu terdiam. Mungkin dia sedang mempertimbangkan permintaanku yang sepele itu.
“Tidak bisa, cucuku!”
“Tidak bisa? Mengapa tidak bisa? Bukankah Kakek selalu berdoa kepada Tuhan?”
“Tapi, aku tidak pernah berdoa kepada Allah untuk menghidupkan orang yang telah mati. Aku orang biasa, bukan nabi. Lagi pula apa perlunya aku berdoa— maaf ya, cucuku—konyol demikian!”
“Jangan salah, Kakek. Ini sangat perlu dan ini juga bukan konyol. Aku sangat mencintai lelakiku itu. Dia adalah kebahagianku, Kek. Kami baru menikah, kami baru merayakan cinta kami yang suci! Jadi, jika dia tidak bisa hidup kembali, sebaiknya aku mati saja!”
“Sabarlah, cucuku! Jangan berkata begitu….”
“Kakek, apa bedanya berdoa untuk meminta rezeki dengan berdoa untuk menghidupkan lelakiku itu?”
Kakek tersenyum, entah apa maksudnya.
“Sudahlah, cucuku! Saat ini aku tidak bisa menjelaskan kepadamu panjang lebar. Yang pokok, kamu harus sabar. Kamu harus terima kematian lelakimu itu. Sebab, semua orang akan mati. Semuanya telah ditentukan oleh Allah!”
“Begitukah? Apakah rezeki manusia belum ditentukan oleh Allah sehingga kita masih patut berdoa untuk memintanya?”
“Rezeki dan kematian manusia sudah ditentukan oleh-Nya.”
“O, jika benar demikian, tidak perlu lagi kita berdoa dan berusaha?”
“Tidak demikian. Rezeki dan kematian sudah ditentukan oleh-Nya, tetapi kita tak tahu ketentuan-Nya itu seperti apa. Karena itu, rezeki harus dikejar dan kematian harus dihindari.”
Aku mengernyitkan dahi. Ada yang kurasa masih samar. Mungkin karena jiwaku masih lelah, kejernihan pikiranku tidaklah sempurna.
“Jadi, apa perlunya kita menyakini ketentuan Tuhan atas kematian atau rezeki itu, Kakek?”
“Pertanyaan yang bagus, cucuku. Sungguh tak dapat dimungkiri bahwa soal kelahiran, soal kematian, soal rezeki, soal jodoh, dan banyak hal lainnya adalah hal-hal penting dalam hidup manusia. Sementara, manusia tidak dapat mengendalikan banyak aspek dari hal-hal itu secara mutlak. Kita berusaha terhindar dari kematian mendadak, tetapi bisa saja kecelakaan menimpa kita dan tewaslah kita seketika. Ini seperti yang dialami lelakimu.”
Aku mulai mengerti. Aku merasakan ada seberkas cahaya menyinari pikiranku.
“Cucuku, kau terlalu lelah lahir dan batin. Istirahatlah dulu. Kita teruskan diskusi ini lain waktu.”
“Baiklah, kakek, kalau begitu. Aku akan datang kembali ke tempat ini bila aku telah waras dan aku akan siapkan waktu hingga tuntas Kakek menjelaskan kepadaku.”
***
Seminggu kemudian, aku kembali ke tempat kakek berada. Syukur, tidak sulit menemukannya kembali. Kali ini dia tidak serba putih. Dia memakai kaos oblong warna hitam dan celana komprang pendekar. Bagiku tak penting benar apa yang dikenakan kakek ini sebab yang penting bagiku adalah kata-katanya!
“Cucuku, selembar daun kering yang jatuh di malam yang gelap Allah Tahu dan Allah Berkuasa atasnya. Daun itu mula-mula layu lalu kering karena sebuah proses alamiah, setelah itu ia luruh dari batang pohon dan melayang di udara, ia akan jatuh di mana itu adalah terserah angin yang menghembusnya. Tetapi, kalau Allah menghendaki, bisa saja daun itu tertahan di udara. Tetapi, jika daun itu jatuh ke tanah secara alamiah maka itu adalah kehendak Allah juga. Hanya saja, ini adalah kehendak Allah yang tidak ajaib menurut mata manusia.”
“Teruskan, Kek. Aku mulai paham.”
“Daun tidak bisa memilih tindakannya karena memang demikianlah takdir untuknya. Sementara, manusia dapat memilih tindakannya. Manusia memiliki akal dan hati. Kemampuan manusia ini adalah takdir Allah untuk manusia. Atau, dengan kata lain, kebebasan memilih itu adalah takdir Allah atas penciptaan manusia. Namanya ‘sudah takdir’ maka manusia tidak bisa mengelak dari hukum kebebasan berkehendak dalam dirinya, sekuat apa pun dia menolaknya.”
Emm… Teruskan, kakek!”
“Allah tetap memiliki kekuasaan-Nya pada perbuatan manusia yang dihasilkan dari kebebasannya untuk bertindak itu. Ketika suatu perbuatan terjadi atas keinginan manusia maka Allah berkuasa untuk ‘membiarkan’ perbuatan itu secara seharusnya. Pembiaran ini adalah kehendak-Nya juga yang berasal dari kekuasaan Mutlak-Nya. Jadi, jika sesuatu terjadi, maka itu adalah atas kehendak Allah, sama juga bila sesuatu itu tidak terjadi maka itu juga atas kehendak Allah.”
“Dalam kata lain, kekuasaan Allah itu mutlak atas segala sesuatu. Kekuasaan mutlak itu dicirikan dengan bahwa kekuasaan-Nya itu meliputi segala sesuatu tanpa kecuali, begitu ya, Kakek?”
“Benar. Kau sudah bisa menyimpulkan. Bagus-bagus. Apa ini berarti kamu sudah mulai melupakan kesedihanmu itu? Cepat sekali. Satu minggu kau sudah dapat menguasai diri.”
“Alhamdulillah, Kakek. Pertemuan dengan Kakek minggu kemarin sangat berarti bagi ketenangan jiwaku. Tetapi, Kakek, bolehkah diskusi ini kita lanjutkan? Bagaimana dengan orang yang mati membunuh dirinya? Apakah kematiannya itu telah ditentukan oleh-Nya atau karena pilihan bebasnya?”
“Begini, dalam pandangan mata manusia tentu saja orang itu berkehendak bebas sehingga bunuh diri itu terjadi karena kehendaknya. Tetapi, tentu saja bahwa hal itu sudah merupakan ‘ketentuan atau takdir- Nya’. Ketentuan itu telah ditetapkan zaman asal atau, sering disebut zaman azali. Nah, di sini otak manusia tak mampu memahami hakikat zaman azali.”
“Mengapa tak mampu, Kek?”
Ketahuilah bahwa Allah SWT itu bersifat Awal dan Akhir. Otak manusia hanya memahami bahwa yang awal pasti bukan yang akhir. Yang akhir pasti bukan yang awal. Bagaimana sesuatu yang awal itu menjadi yang akhir atau sebaliknya? Sampai kapan pun akal manusia tak dapat memahaminya. Otak manusia berjalan pada ruang logis dan kronologis.”
“Ini menarik, Kek.”
“Contoh lain, Allah itu Dhohir (tampak) dan Bathin (tak tampak). Dua hal yang bertentangan dalam satu hakikat tentu saja tidak masuk akal atau mustahil menurut akal. Tetapi, Allah yang Mahatinggi mutlak memiliki sifat atau kualitas demikian. Jadi, tidak bisa dipahami hakikat keilahian Allah jika yang kita gunakan adalah akal kita an sich. Otak kita tidak dalam kapasitas untuk itu. Dalam sebuah sabdanya, Nabi Muhammad melarang kita berpikir tentang Zat Allah, dia menganjurkan kita untuk berpikir tentang ciptaan-ciptaan-Nya saja.”
“O begitu ya, Kek. Kalau begitu, Nabi kita itu sangat bijak ya, Kakek. Dia tahu bahwa sebagian manusia akan mengarahkan pikirannya ke sana sehingga dia perlu memberi warning.”
Nah, aku jadi ingat, bijaksana! Al-Hakim! Allah SWT Mahabijaksana. Tadi aku jelaskan bagaimana Allah itu berkuasa mutlak. Tetapi, ingatlah bahwa Allah SWT juga Mahabijaksana atau al-Hakim. Sehingga kehendak-Nya atau kekuasaan-Nya yang mutlak itu sejalan dengan hikmah kebijaksanaan-Nya. Hikmah kebijaksanaan-Nya itu yang pertama merupakan hukum keadilan (sebab-akibat). ”
“Kakek, berhentilah dulu. Jangan panjang-panjang. Aku perlu mencernanya pelan-pelan.”
Dia menghentikan kata-katanya, memberiku kesempatan untuk bernapas sejenak tanpa beban berpikir.
“Cukup? Aku lanjutkan. Dari pengertian ini, maka perbuatan atau kehendak bebas manusia dijamin oleh Allah SWT. Aku ingin menyatakan di sini bahwa Allah SWT hanya sesekali ikut campur sehingga tidak mengikuti hukum sebab-akibat ini—setidaknya menurut pengamatan manusia. Contohnya, ketika Dia membuat api menjadi dingin bagi Nabi Ibrahim. Laut yang tenang tiba-tiba terbelah memberi jalan untuk Musa dan pengikutnya.”
“Kalau begitu kita cukup mengandalkan kemampuan diri sendiri dan apa yang telah diberikan Allah dalam alam raya ini. Kita tidak perlu memohon bantuan dan pertolongan-Nya sebab segala sesuatu umumnya hanya bertumpu pada hukum keadilan Allah alias hukum sebab-akibat?”
“Ya dan tidak!”
“Ya dan tidak? Jangan Kakek membuatku bingung.”
“Orang-orang yang tidak beriman kepada Allah dan tidak pula yakin akan adanya bantuan dan campur tangan Allah, bolehlah dia menganggap sepi Allah. Bolehlah dia bertindak hanya dengan percaya kepada kemampuannya, percaya pada hukum sebab-akibat saja. Tetapi manusia yang beriman tidak boleh demikian. Dia, sebaliknya, diperintahkan untuk berdoa, diperintahkan untuk percaya pada bantuan Allah, diperintahkan untuk yakin adanya campur tangan Allah dalam kehidupannya.”
“Bagaimana cara Dia membantu urusan kita, Kek?”
“Dia Mahacanggih sehingga Dia bisa bantu kita dengan berbagai cara yang kita sendiri mungkin tidak menyadarinya. Dan, salah satunya ialah melalui hati. Allah senantiasa berkuasa atas hati kita.”
“Maksud Kakek, Allah membisiki hati manusia atau ada makhluk lain yang ditugaskan, malaikat, misalnya?”
“Benar kamu.”
***
“Kakek, sekarang ini sudah jam satu siang. Aku belum makan sejak pagi. Seandainya sekarang ini aku berdoa kepada Allah agar Dia mendatangkan dua piring nasi gudek— yang sepiring untuk aku dan yang sepiring lagi untuk Kakek—apakah, satu, Dia akan memenuhi permintaanku itu dan dua, apakah aku patut berbuat demikian?”
“Dia pasti insya Allah tidak akan mendatangkan dua piring nasi gudek itu.”
“Mengapa begitu, Kek?”
“Allah bertindak dengan kebijaksanaan. Bukan dengan kesembronoan. Ini adalah kepastian.”
“Oke! Ini berarti aku tidak patut melakukan doa yang semacam itu ya, Kek. Tetapi, seandainya aku benar-benar haus akan bukti yang bisa membuat hatiku mantap terhadap perkara bantuan Allah ini, bolehkah aku berdoa yang semacam itu?”
“Boleh saja. Tetapi, Allah-lah yang mempertimbangkan kepatutanmu untuk mendapatkan keajaiban itu. Dan, yang penting bahwa kamu juga siap menerima risikonya.”
“Risiko, apa maksudnya, Kakek?”
“Bagaimana seandainya Allah SWT tidak kunjung menunjukkan keajaiban yang kamu minta itu, apakah kamu sanggup menderita batin sebab menunggu-nunggu dan menduga-duga?”
“O… gitu ya, Kek?”
“Dan, bila akhirnya Dia tidak berkenan, apakah kamu mau menjadi orang kafir? Siapkah kamu menjadi orang kafir?”
“He..he…he… kok jadinya bisa begitu!”
“Orang-orang dahulu di zaman Nabi meminta keajaiban. Bahkan, ketika keajaiban itu benar-benar ditunjukkan, orang-orang tersebut tetap dalam kekafiran.”
“Bagaimana dengan orang-orang sesudah nabi, aku dengar mereka juga mengalami keajaiban-keajaiban. Benarkah ini, Kakek?”
“Benar sekali. Mereka adalah para waliyullah. Mereka adalah orang-orang yang berada di garis depan dalam bertaat kepada Allah. Mereka tidak meminta keajaiban seperti kamu—maksudku, seperti yang kamu rencanakan dan omongkan tadi. Mereka mendapatkan keajaiban adalah tanpa mereka minta.”
Wah, hebat sekali mereka. Aku ingin menjadi waliyullah seperti mereka. Kenalkan aku kepada mereka, Kek?”
“Tetapi, apa kamu yakin bahwa kamu bisa menjadi waliyullah?”
“Bukankah kita bebas untuk menjadi apa, sesuai dengan keinginan kita? Dan, bahwa Allah yang Mahabijaksana menjamin kebebasan kita itu. Sehingga, jika aku sungguh-sungguh menempuh jalan ini maka Dia pasti akan menolongku dan membantuku. Begitu kan, Kek? Kakek ini pasti menguji aku, iya kan?”
“Kamu lulus, cucuku!”
Aku merasa senang mendengar predikat “lulus” itu. Kini hatiku serasa seluas samudera. Tidak ada lagi dalam hatiku kesedihan sebab lelakiku yang telah tiada. Aku rasa yang terpenting buatku sekarang adalah mejalani hidup ini penuh optimisme sebab kini aku tahu secara pasti bagaimana menempatkan kebebasanku berbuat dalam kerangka ikhtiar dan bagaimana aku sangat yakin bahwa Allah akan mengulurkan tangan-Nya untukku.
“Kamu melamun, cucuku?”
“Oh ya…!” (*)


(Cerpen,As Sidqon).Subah, 22 Januari 2013
Penulis lahir di Batang, 6 Januari 1970. Saat ini tinggal di Kompleks Ponpes Subhanah, Subah, Batang, Jawa Tengah.
Selengkapnya →

Episode " 3 Kelompok Perusak Bahasa "

Terdapat 3 kelompok manusia yang merusak makna kata, atau bisa dibilang perusak bahasa karena mereka dianggap menggunakan bahasa serampangan, seenak udelnya. Nah, kelompok yang pertama adalah politisi. Persamaan dari penulis dan politisi adalah, mereka sama-sama doyan berkata-kata. Perbedaannya, penulis yang gigih memiliki cita-cita setinggi langit untuk “mengorek kata hingga ke putih tulang” (Chairil Anwar). Sementara politisi yang gigih memiliki dorongan alami untuk membungkus hasrat setinggi langit dengan kata-kata. Dengan kata-kata mereka berjanji, dengan kata-kata mereka berdalih. 
 
Mereka menggunakan bahasa untuk menjalankan strategi the art of being nonsense. Kata-kata yang disampaikan oleh politisi di panggung politik jarang kita temukan buktinya. Jangankan kata-katanya setajam pedang, kita justru melihat kata-kata yang setumpul pikiran penuturnya.
Kelompok kedua yang serampangan dalam menggunakan kata adalah para alayers. Mereka menulis dengan cara akrobatik dan tidak risau menampakkan gejala-gejala dangkal pada pemikiran mereka. Cara menulis Alay adalah mode, seperti selayaknya fashion, gaya rambut, music dan lainnya. Alay adalah strategi remaja untuk menyatakan keberadaan dan membedakan diri. Sebagian nanti akan jemu dan merasakan strategi ini sudah tidak layak. Sebagian lagi mungkin tidak bisa menentukan alternative lain dan tetap mempertahankannya kendati sudah tua. Artinya, mereka tetap remaja. Mereka tidak bisa mematangkan diri, bahkan mungkin sampai tumbuh uban di rambut.
Kelompok ketiga yang memiliki kecenderungan lebay dalam berahasa adalah para motivator atau orang-orang yang memiliki hasrat meluap untuk menjadi motivator. Mereka meyakini bahwa perubahan dimulai dari penggunaan bahasa, banyak dari mereka gagal mengerem diri sendiri dari upaya berlebihan. Misalnya, mereka tidak mau menggunakan “Selamat pagi!” tetapi memilih “Semangat pageeeee!”.
 
 
*Rewrite dari artikel karya A. S. Laksana dengan judul “Le Mot Juste” di rubrik Ruang Putih, Jawa Pos edisi Minggu, 21 Oktober 2012
Selengkapnya →

Puisi Malam Ini


Malam ini kurasa perih menggores hati,
segenap tawa terbungkam mati,
sejuta asa terbunuh sepi,
raga pun tak sanggup berdiri.

Kemana harus ku langkahkan kaki,
semua jalan terasa berduri.
Dimana harus ku cari kebahagiaan sejati,
di hulu dunia tiada ku temui..


Malam Kesedihan

Malam ini pikiranku kalut,
bersemayam di ujung maut,
tiada tali cinta yang dapat dirajut,
hanya amarah yang kian menyulut.

Pergilah risauku bagai kentut,
agar jalan hidupku tak lagi semrawut.
Ku berdoa sembari bersujud,
agar motivasiku takkan pernah surut..


Oleh : Abdul Ghofur

Selengkapnya →

Huruf Terakhirku


Huruf Terakhir ilustrasi Budiono
  NAMAKU Lili, ujarmu di perkenalan kalian dua tahun yang lalu, perkenalan yang akhirnya mengantarkan kalian ke pelaminan, pernikahan yang melempar kalian ke kesemuan yang lucu, kenyataan yang menyeret kalian ke dalam lakon berdarah siang itu!
***
SEJAK dipromosikan menjadi sekretaris direktur, sebagian besar waktumu kauhabiskan untuk urusan pekerjaan. Kau tak pernah tahu, sedari kauputar kunci Avanza lalu meluncur ke kantor di utara kota, Illy selalu berhasil membawamu kembali. Dari pagi hingga malam meninggi, kalian membincangkan banyak hal. Dari pekerjaan, kesetaraan gender, kurs rupiah yang makin anjlok, anggota-anggota DPR yang beradu mulut dan saling tonjok, isu naiknya harga BBM, hingga perkara asmara.
Untuk yang terakhir, kalian tidak hanya terlibat dalam perbincangan yang hangat, tapi juga kerap bercumbu bagai tak menenggang keberadaan tetangga. Kadang Illy tertawa keras-keras, kadang memekik penuh gairah, dan tak jarang melenguh seolah tengah menuntaskan pertarungan-ranjang. Kalian selalu melakukannya sepanjang hari. Bila kau pulang cepat, di waktu yang sama, kauburu-buru menyelinap keluar dari pintu belakang.
Illy juga selalu pandai berakting seolah sepanjang hari sibuk menulis artikel budaya untuk koran lokal, beberapa puisi picisan untuk majalah remaja, menghitung untung-rugi beberapa usaha alternatif yang hingga kini belum direalisasikan, atau membereskan pekerjaan rumah sebagaimana dilakukan oleh para ibu rumahtangga—atau bahkan para pembantu rumahtangga. (Bukan, bukan kau yang meminta Illy melakukannya. Dia sendirilah yang mengajukan diri seolah menenggang kesibukan yang membelitmu, seolah tahu diri dengan status penganggurannya). Selayang pandang, Illy memang tampil sebagai suami yang sayang istri. Ya, walau menjadi penopang keuangan keluarga, kau tak pernah berpikir untuk membabukan suami.
Kau hanya sering heran, mengapa Illy selalu lupa merapikan seprei ranjang atau sofa panjang ruang tengah. Kau selalu mendapati dua perabotan itu dalam keadaan kusut atau berantakan. Kau tak pernah menaruh curiga kepadanya. Kau seolah lupa, sepengangguran apa pun, Illy adalah seorang sarjana, Illy adalah laki-laki normal yang haus kehangatan, Illy bukanlah seorang dungu yang setia-buta menantikan kaupulang larut malam dalam keadaan lelah yang sangat (dan Illy menyiapkan air hangat yang akan membilas lelahmu agar kau dapat menyongsong malam dengan mimpi yang menerbangkan kepenatan). Lagipula takkah kau merindukan kehadiran seorang anak, Lili?
Ah, yang terang, kau tak pernah tahu, Illy hanya memandangimu yang pulas di sampingnya (Oh Lili, takkah kau iba kepadanya?); kau tak pernah sadar bahwa kau tak pernah punya waktu untuk bertarung dengannya di dalam kelambu brokat tembus pandang; kau juga tak pernah tahu, akhirnya Illy melampiaskan gairah kepada kesepiannya, kepada yang tiba-tiba meluangkan waktu untuk mendengar curhatnya, kepada yang tiba-tiba mendengarkan setiap keluh-kesahnya, kepada yang selalu memberi pertimbangan perihal usaha yang akan ia buka, kepada yang selalu memberi kenikmatan tak tertanggungkan tanpa harus berlaku sepertimu dulu: menerapkan kamasutra yang aneh-aneh lalu menganggurkannya sekian lama hingga saat ini!
Kau sangat kejam, Lili!
***
PAGI itu, kau tergesa-gesa mengunyah nasi goreng masakan Illy ketika ponselmu berdering nyaring. Direktur memintamu ke kantor lebih awal. Ada rapat mendadak dengan klien di perusahaan. Tanpa banyak ba-bi-bu, kau-oke-kan saja. Kautinggalkan sarapan yang baru kaulahap dua sendok. Terburu-buru kauambil segelas sirup-sunkis dan meminumnya seperempat isi. Setengah berteriak kaupamit. Kaututup pintu serampangan. Menuju Avanza yang baru selesai dicuci Illy pagi tadi. Tak sampai dua menit, mobil metalik itu sudah membawamu menyusur jalanan yang bingar oleh perang klakson.
Di kantor, kau akan mendampingi laki-laki flamboyan yang kaupanggil “Pak Direktur” untuk mengikuti rapat yang akan dimulai satu jam lagi. Kau tahu kalau laki-laki itu sudah lama menaruh hati kepadamu. Namun kau mengabaikannya saja. Tentu saja kau tidak menunjukkanya. Kau masih cukup cerdas memilih; kapan melengkungkan senyum, kapan mengejek ketakberdayaan pimpinan. Kau selalu pandai berkilah bila rekan-rekan kantor (khususnya yang wanita) kerap mengolok-olokmu. Kepada mereka kaunyatakan bahwa kau memang tak membantah perihal Pak Direktur yang sangat perhatian, namun kau menolak dikatakan mendapatkannya dalam porsi lebih, apalagi dengan cara yang tak semestinya.
Pak Direktur hanya ingin menunjukkan bahwa karyawan yang baik akan mendapat tempat yang lebih layak, ujarmu sok bijak.
Kau terenyak mendapati berkas-berkas di dalam mapmu. Ada yang kurang. Kaulirik arloji mungil yang melilit pergelangan tangan kirimu. Tiga puluh menit lagi rapat akan dimulai. Kauminta izin keluar sebentar. Pak Direktur menunjukkan air muka keberatan. Namun senyum manis yang kausunggingkan, seolah-olah meyakinkan pimpinan perusahaan itu bahwa kau akan kembali sebelum rapat dibuka. Ya, tentu saja tak kaukatakan bahwa kaupulang mengambil beberapa nota kesepakatan yang akan ditandatangani klien perusahaan di akhir rapat.
Kaunyalakan mobil. Kautarik napas agak panjang sebelum menginjak pedal gas. Kau akan mengemudi dalam kecepatan tinggi. Mobil melaju. Cepat. Kaupasang konsentrasi tinggi. Mobilmu meliuk dengan mulus di beberapa simpang dan jalan yang tak rata. Baru kali ini kaudapati bukti bahwa keadaan genting dapat melecutkan keberanian hingga beberapa kali lipat.
Kaubunyikan klakson beberapa kali namun Illy tak kunjung membukakan pagar. Kau pun kesal. Kauturun dari mobil. Kau menggeret pagar dengan muka kusut. Kauparkir mobil sekenanya di halaman (sebenarnya bisa saja kau memarkirkan mobil di depan pagar tapi kaukhawatir ada mobil lain yang akan melintas di jalan kompleks yang sempit itu). Kau menarik gerendel pintu depan dengan gerakan malas. Kaubanting pintu. Kaugegas ke ruang kerja. Kau membuka lemari yang biasa kaugunakan untuk menyimpan berkas-berkas kantor. Sembari memeriksa berkas-berkas yang belum juga ditemukan, kau memanggil-manggil suamimu. Tentu saja kau bukan hendak meminta bantuannya untuk mencarikan beberapa map penting karena ia memang tak tahu apa-apa tentang pekerjaanmu. Kau hanya ingin memastikan bahwa suamimu ada di rumah. Kau hanya ingin tahu mengapa ia tidak mengunci sekaligus membukakan pagar dan pintu untukmu… mengapa ia mengabaikanmu!
Praaanggggg!!
Kau menoleh. Vas bunga kristal yang dihadiahkan Pak Direktur di hari ulangtahunmu beberapa bulan yang lalu, tersenggol siku tanganmu. Pecah. Beling-beling berserakan di lantai. Kau makin kesal. Mulutmu mulai merunyam. Beberapa kali kaupanggil suamimu dengan berteriak. Tak juga ada tanggapan. Ponselmu berdering. Nama Pak Direktur mengedap-kedipkan layarnya. Irama degup jantungmu mulai timpang. Butir-butir keringat berebutan menerobos pori-pori kulitmu. Kau menarik napas panjang sebelum memutuskan menjawab panggilan.
Klek!
Perasaan lega dan khawatir bertabrakan dalam dadamu ketika mendapati panggilan terputus sebelum sempat kaujawab. Kaugegas menekuri lemari berkasmu. Ups! Matamu berbinar cerlang. Kau akhirnya menemukan apa yang kaucari. Kau melirik arloji di tangan. O, rapat pasti baru saja dimulai, gumammu. Kau tahu, Pak Direktur pasti marah. Tapi memilih mendampinginya tanpa berkas yang harus ditandatangani, tentu dapat membuatmu terdepak dari posisi nyaman.
Baru saja hendak menuju pintu, kau mendengar suara dari arah kamarmu. O, suara itu memang berasal dari sana. Dan suara itu. O, benarkah suara itu benar-benar dari kamar? Itu suara suamiku, batinmu bergetar. Suara itu, suara itu, desahan itu, desahan yang menggambarkan kenikmatan yang tengah didaki.
Benarkah desahan itu memanggil-manggil namaku, batinmu menggigil.
Bahumu turun-naik. Perasaanmu benar-benar tak tentu. O, tidakkah kausadar, sudah lama nian kau tidak membuat suamimu mengeluarkan suara-suara yang meremangkan gairah? Dan kini…. O kini, kepalamu bergasing demi menerka siapa yang telah membuat suamimu sebergelora saat ini!
Kau bersijingkat mendekati pintu kamar. Pelan-pelan kaubuka pintunya yang tidak terkunci. Kau mengintip. Awalnya kausipitkan sebelah mata sebelum akhirnya tanpa kendali kaubelalakkan kedua indera penglihatanmu itu. Kau berteriak sembari berlari menuju suamimu yang bergeliat di atas seprei ranjang yang kusut.
Paaakkkk!
Sebelah tanganmu terasa berdenyar sehabis menampar sebelah pipi laki-laki yang sedari tadi sibuk memegangi kelaminnya sendiri!
Illy pun terkesiap tak alang kepalang. Refleks ia bangun, mengeret tubuhnya ke pojok ranjang, lalu meraih selimut untuk menutupi kemaluannya. Ia benar-benar malu dengan apa yang baru saja terjadi. Kau pun memandanginya dengan tatapan iba. Sekujur tubuh suamimu simbah oleh keringat.
Tampaknya kau benar-benar merinduiku, Sayang… ujarmu seperti bergumam. Suaramu seperti merasa sangat berdosa.
Illy masih menggigil. Ia seperti remaja yang habis digagahi tiga orang sekaligus. Tatapannya kosong. Ia terus memanggil-manggil namamu. Kau tak kuasa meneteskan airmata. Kau seolah baru sadar telah mengabaikan suamimu lebih dari setahun belakangan.
Kaulepaskan stiletto-mu. Kaunaik ke atas ranjang. Kaupeluk suamimu seolah menenangkan seorang anak kecil yang habis dihajar ayah tiri. Kaurapat-rapatkan dadamu ke wajahnya dan ia terus saja memanggil-manggil namamu.
Aku di sini, Sayang, ujarmu lagi dengan nada menenangkan seraya melepaskan syal yang melilit lehermu. Aku juga sangat merinduimu, lanjutmu dengan wajah penuh rona. Kini, kaulepaskan semua yang menutupi tubuhmu. Kaupikir, bercinta dengan suamimu siang itu adalah salah satu cara untuk mengakui kealpaanmu selama ini. Kau seperti mendadak tak peduli pada rapat di kantor yang akan segera berakhir. Kau tak tahu kalau suamimu benar-benar bingung apa yang tengah dihadapi. Sungguh, ia ingin melanjutkan percintaan denganmu, perempuan yang menggiring jemarinya mencumbui selangkangan sendiri….
Gubrraaakkk!!
Tendangan kaki kanan Illy membuatmu terjerengkang dari atas ranjang. Tubuhmu berguling-guling di lantai. Kaurasakan banyak kunang-kunang mengitari kepala. Pelipismu meneteskan cairan marun kental. Samar-samar kaulihat Illy meraih tembikar seukuran tubuh bayi dan… o o o, ia mengarahkannya ke arahmu, ke kepalamu!
Kau tak sempat berteriak, seolah membiarkan deringan ponsel dalam tas kerjamu (nama Pak Direktur mengedap-kedipkan layarnya) membisingkan siang itu, seolah membiarkan kematian datang bersama ketaktahuan yang mengenaskan:
Yang Illy inginkan bukan Lili, tapi Lily! (*)
Tabarenah, April-Juni 2012
Benny Arnas, lahir dan tinggal di Lubuklinggau, Sumatera Selatan. Buku cerita pendeknya adalah Bulan Celurit Api (2010) dan Jatuh dari Cinta (2011). Bersama sang istri, mengelola BENNY INSTITTUTE
Selengkapnya →
Kamis, 13 Juni 2013

(book riview) Filosofi Kopi By Dewi ''dee'' Lestari

 

Judul Buku  : Filosofi Kopi
Pengarang  : Dewi “Dee” Lestari
Penerbit  : Penerbit Bentang
Tahun Terbit  : 2012
Tebal : 142 Halaman
Terdiri dari prosa dan cerita yang ditulis Mbak Dee dari tahun 1995-2005. Karena buku ini berisi 18 judul prosa dan cerita, saya hanya akan mengulas cerita yang saya suka.


FILOSOFI KOPI

Ben dan Jody, pemilik kedai kopi yang awalnya bernama Kedai Koffie BEN & JODY dan kemudian berubah nama menjadi Filosofi Kopi dengan slogan “Temukan Diri Anda di Sini”. Sejak penggantian nama dan slogannya, kedai mereka menjadi populer. Yang datang bukan hanya penggemar kopi, tapi juga orang-orang yang penasaran ataupun grup penggila filsafat yang lebih menikmati berbincang dengan Ben, sang barista.
Dengan ide-ide Ben yang kreatif, kedai kopi mereka semakin memiliki banyak pelanggan setia. Suatu hari Ben mendapat tantangan dari seorang pengusaha kaya. Ben ditantang untuk membuat kopi yang sempurna dengan imbalan 50 juta. Setelah bekerja keras, akhirnya Ben berhasil membuat racikan kopi yang sempurna dan memenangkan tantangan dari pria kaya itu. Kopi yang sempurna itu diberi nama Ben’s Perfecto.
Ben’s Perfecto menjadi primadona dan menjadi menu yang paling banyak dibeli. Ben merasa sangat puas dengan hasil kerja kerasnya, sampai suatu hari seorang pria setengah baya datang ke Filosofi Kopi dan memesan Ben’s Perfecto. Ben terpukul karena pria setengah baya itu mengatakan kalau ada kopi yang lebih enak dari Ben’s Perfecto. Berbekal rasa ingin tahu, Ben mengajak Jody ke pedesaan yang ditunjuk pria itu untuk mencicipi kopi yang disebut-sebut lebih enak dari Ben’s Perfecto.

MENCARI HERMAN
Seorang Aku yang tidak menyebutkan namanya bercerita tentang Hera, adik temannya. Hera punya obsesi aneh. Hera ingin mencari seseorang yang bernama Herman. Ya, Hera tidak pernah punya kenalan yang bernama Herman. Nama Herman sejati, tidak pakai embel-embel “to”, “syah”, ataupun yang punya unsure ke-“herman-herman”-an dalam namanya.
Sampai kuliah kedokteran pun Hera masih berusaha mencari sang Herman. Hingga akhirnya dia hamil di luar nikah. Tentu saja bukan dengan seorang Herman. Hidup Hera akhirnya hancur. Dan, setelah pulih lahir batin, Hera ingin jadi seorang pramugari.
Menjadi pramugari tak membuat hidup Hera membaik. Dia malah menjadi simpanan seorang pilot sehingga membuat keluarganya menjauhi dia. Hidupnya semakin hancur, dan semakin jauh kemungkinan untuk bertemu seorang Herman. Dengan ending yang tragis, cerita ini membuktikan bahwa pepatah “Bila engkau ingin satu, maka jangan ambil dua. Karena satu menggenapkan, tapi dua melenyapkan” benar adanya.

RICO DE CORO
Rico, seorang kecoak ningrat dan merupakan pangeran kecoak jatuh cinta pada manusia yang bernama Sarah. Sarah merupakan keluarga tempat Rico dan pasukan kecoak lainnya tinggal. Tapi tentu saja kisah cinta ini tidak akan pernah bisa berjalan mulus. Rintangan yang paling berat adalah Sarah sang pujaan hati takut pada spesies yang bernama kecoak.
Cinta Rico pun semakin mustahil ketika terjadi perburuan besar-besaran kecoak oleh keluarga Sarah. Yang membuat sang raja, Ayah Rico geram adalah karena rakyat-rakyatnya dibunuh untuk dijadikan makanan ikan arwana peliharaan Papa Sarah.
Sang raja memutuskan untuk membalas dendam dengan bantuan seekor spesies kecoak baru hasil persilangan berbagai serangga. Lalu bagaimana nasib kisah cinta Rico dengan Sarah? Baca sendiri cerita yang kocak dengan ending tragis ini.

THE REVIEW
Cerita-cerita di buku ini enak dibaca, mudah dipahami dan punya tema unik seperti karya Mbak Dee yang lainnya. Selain cerita-cerita diatas ada juga cerita lain seperti, Sikat Gigi, Sepotong Kue Kuning, Lara Lana dan Buddha Bar.
Sebenarnya semua isi buku ini menarik untuk dibaca. Tapi, menurut saya ketiga cerita diatas yang paling berkesan. Contohnya Lara Lana, cerita ini benar-benar mengejutkan. Awalnya saya pikir Lana itu seorang… ternyata…
Untuk bagian prosa sendiri saya tidak bisa menceritakannya karena  terlalu pendek dan bermakna luas. Jadi, sebaiknya baca sendiri bukunya .
Akhirnya, dengan selesainya baca buku ini lengkap sudah karya-karya Mbak Dee yang saya baca. Bukunya sangat ringan tapi berisi, persis seperti karya Mbak Dee yang saya baca sebelumnya, Madre.

MEMORABLE QUOTES
  • “Kopi Tiwus telah membuatku sadar, bahwa aku ini barista terburuk. Bukan cuma sok tahu, mencoba membuat filosofi dari kopi lalu memperdagangkannya, tapi yang paling parah, aku sudah merasa membuat kopi paling sempurna di dunia. Bodoh! Bodoooh!” Hal. – 23
  • “Pepatah bukan sekedar kembang gula susastra. Dibutuhkan pengalaman pahit untuk memformulasikannya. Dibutuhkan orang yang setengah mati berakit-rakit ke hulu agar tahu nikmatnya berenang santai ke tepian. Dibutuhkan orang yang tersungkur jatuh dan harus tertimpa tangga. Dibutuhkan sebelanga susu hanya untuk dirusak setitik nila. Dibutuhkan seorang Hera yang mencari Herman.” Hal. – 31
  • “Larilah dalam kebebasan kawanan kuda liar. Hanya dengan begitu, kita mampu memperbudak waktu. Melambungkan mutu dalam hidup yang cuma satu.” Hal. – 71
  • “Pegang tanganku, tapi jangan terlalu erat, karena aku ingin seiring dan bukan digiring.” Hal. - 99 
Selengkapnya →
Rabu, 12 Juni 2013

Mengenal Karakter Dan Watak Para Tokoh Pewayangan

DUNIA pewayangan (wayang kulit) melalui tokoh-tokohnya sebenarnya memuat banyak simbol dan karakteristik watak manusia. Sejumlah tokoh pewayangan dengan jelas juga merupakan simbol karakteristik pria. Seperti tokoh Arjuna, pria lambang ketampanan, Yudhistira suka perdamaian, Bima adalah pria yang mahal dalam cinta dan tidak gampang tertarik terhadap perempuan.
 

Berikut adalah beberapa watak dari sejumlah tokoh pewayangan, yang sering dijadikan simbol watak pria, yang disarikan dari pedalangan gagrak Yogyakarta maupun Surakarta.

1. Yudhistira (Sang Ludira Seta)
Yudhistira termasuk putra sulung Pandawa, putra dari Dewi Kunthi. Ketika mudanya bernama Puntadewa, raja Amarta. Puntadewa juga terkenal dengan sebutan gelar Sang Ludira Seta yang artinya berdarah putih. Ini melambangkan pria yang tulus ikhlas dalam berbagai hal. Bahkan dalam satu cerita, Puntadewa rela memberikan isteri tercintanya ketika diminta oleh orang lain yang sangat mengagumi dan mencintainya. Yudhistira adalah lambang dari pria yang teguh hati, penyabar dan suka perdamaian. Sangat setia terhadap isteri, anak dan keluarganya. Yudhistira sangat benci terhadap permusuhan. Walaupun bermandi harta, Yudhistira menentang poligami, sehingga isterinya hanyalah satu, Dyah Ayu Drupadi. Ketika muda, Yudhistira gemar berbusana yang indah-indah, tetapi setelah tua dia justru berpenampilan sederhana.

2. Arjuna (Lananging Jagad)
Nama Arjuna konon berasal dari kata Jun yang bermakna jambangan. Konon, nama Janaka juga berasal dari Bahasa Arab Jannah yang berarti sorga. Kedua kata tersebut mengandung makna hening atau keheningan. Arjuna memiliki sifat dan watak fitrah, murni. Tak sedikit wanita yang kasmaran kepadanya. Wujud ketampanan Sang Arjuna adalah lambang kehalusan serta keagungan budi seorang pria. Arjuna juga dikenal menyukai sesuatu yang bersifat estetis, asri, sangat sensitif jiwanya, dan lembut hatinya. Sang Arjuna sulit mengucap kata ‘tidak’ dan kata ‘jangan’, khususnya terhadap kaum wanita. Di situlah kelemahan Sang Arjuna, maka tak sedikit wanita yang sangat merindukannya, walau mereka telah bersuami.

3. Kresna (Politikus)
Ketika muda, Kresna bernama Narayana. Ia kemudian menjadi raja di Dwarawati. Meskipun secara fisik pria ini berkulit hitam, berdarah hitam dan berdaging hitam, tetapi Kresna tidak ‘hitam’ ulahnya. Kresna adalah lambang pria yang ramah, mudah bergaul, supel, banyak kawan, dan suka bercanda (humor). Ketika memberi fatwa, ia menggunakan berbagai sindiran yang begitu lembut, sehingga yang dinasihati tidak merasa sakit hati. Kresna banyak didatangi sahabat tua-muda dan pria-wanita, untuk sharing atau konsultasi. Umumnya, sepulang dari konsultasi dari Dwarawati, para ‘relasi’ Kresna pulang dengan menggenggam semangat. Kresna memang terkenal sangat strategis dalam menghadapi keluhan para ‘klien’-nya. Kresna memiliki karier yang sulit ditandingi, terlebih di bidang politik. Di mata sesamanya, Kresna memiliki wibawa yang sangat tinggi dan pengaruh yang luar biasa. Dedikasi dan loyalitasnya sangat oke, karena itulah semua anak buah Kresna patuh kepadanya. Dalam rumah tangga, Kresna tidak mengecewakan. Walaupun beristeri tiga orang, Kresna sangat adil. Nasihat yang terkenal dari Kresna kepada para isterinya ialah, agar mereka mengedepankan rasa kemanusiaan dan mengesampingkan busana glamour.

4. Drestharastra (Gagal Membina Isteri)
Drestharastra adalah saudara tua dari keluarga Pandawa, bibit darah Pandawa. Ketika Pandhu mangkat, singgasana kerajaan diambil alih oleh Drestharastra, sehingga Pandawa Lima tersingkir. Sebenarnya, Drestharastra memiliki watak agung budi, sabar dan suka mengalah. Tetapi karena terbawa oleh watak isteri tercintanya yang bengis dan ambisius, yang bernama Gandari, maka watak yang sabar, dan suka mengalah tersebut justru dimanfaatkan oleh Sang Gandari, untuk menyetir sang suami, agar sang suami mengikuti seluruh kehendaknya. Drestharastra bisa digambarkan sebagai lambang suami yang terkalahkan dan disetir sang isteri. Maka tidak mustahil jika watak Drestharastra, belakangan berubah. Tak mustahil pula kalau orang-orang yang bekerja pada Drestharastra, jarang yang betah lama, karena Gandari menganggap hina setiap orang yang menghamba kepada Drestharastra. Demikian juga kepada keluarga sang suami. Drestharastra sendiri tak bisa berbuat apa-apa. Gandari memang cantik, tetapi ia berwatak iri, dengki, semena-mena, dan mudah terhasut. Semua perwatakan itu sangat mempengaruhi watak Drestharastra. Bahkan anak-anak Drestharastra yang berjumlah 100 orang, tak ada satupun yang bisa dijadikan teladan.

5. Bima (Si Mahal Cinta)
Keperkasaan pria bernama Bima tentu sudah tidak diragukan lagi. Watak Bima memang sangat jauh dari watak angkuh dan sombong, walau dikaruniai kekuatan yang luar biasa. Bima sangat tinggi rasa sayangnya terhadap orang tua dan saudara. Bima juga terkenal jujur kalau berbicara, bahkan tidak pernah berbohong. Namun Bima kurang suka sesuatu yang bersifat formal. Sang Bima selalu bersikap teguh memegang prisip, tidak gampang terhasut atau dipengaruhi dengan apapun, walau si penghasut mempergunakan berbagai jurus dan cara. Bima juga memiliki tenggang rasa yang sangat dalam terhadap siapapun, sehingga ia akan serta-merta memberi pertolongan kepada siapapun yang sedang dilanda musibah dan kesusahan. Ia juga sangat kuat berpegang pada sariat agama dan paugeran kenegaraan. Bima adalah sosok patriotis yang selalu setia kepada lingkungannya dan negerinya sendiri. Dalam komunikasi sosial, Bima dikenal sangat menghormati kaum wanita. Bima juga bukan tipe pria ‘mata keranjang’. Ketika dia tertarik dan memperisteri Dewi Arimbi, semata-mata ia tertarik pada keluhuran budi dan keagungan sang Dyah Ayu.

6. Durna (Paranormal Pengeruk Keuntungan)
Ketika mudanya, Durna bernama Bambang Kumbayana. Waktu itu Resi Durna begitu tampan dan ganteng. Bambang Kumbayana selalu berbusana mewah, sehingga penampilannya sangat meyakinkan. Tetapi karena wataknya yang hadigang-hadigung, maka wajahnya berubah menjadi tidak karuwan setelah dihajar habis-habisan oleh musuhnya. Resi Durna memang selalu berkostum jubah paranormal (Jw: Pandhita), tetapi perilakunya sangat nista dan hina. Durna dikenal dengan watak ‘bermuka dua’. Pria yang tidak berpendirian kuat dan penuh prasangka buruk, walau ia mengklaim dirinya sebagai ‘paranormal’. Durna juga dikenal sangat suka mendatangi para muridnya, karena di sana akan dihormati oleh murid-murid dan keluarganya. Semua kebutuhannya disediakan, bahkan kadang ia minta dijemput oleh para Korawa. Di balik jubahnya itu, Durna justru tega memanfaatkan setiap orang yang minta pertolongan, untuk kepentingan Durna sendiri. Bahkan ia tega memanfaatkan kesusahan ‘klien’-nya untuk kesenangan pribadi Durna sendiri. Meskipun demikian Durna sering bercerita tentang keberhasilannya dalam menolong sesama, sehingga para tamunya terbius oleh bujukannya. Ia madeg sebagai paranormal, memang hanya untuk mengeruk keuntungan. Namun resminya, Durna adalah penasihat spiritual Astina dan Pandawa.

7. Semar (Pembantu Bijaksana)
Jika pembaca adalah wanita, dan bersuamikan seorang pria yang sangat pandai mengasuh dan amat bijaksana, itu berarti tak jauh berbeda dengan karakteristik Sang Semar. Walau hanya seorang punakawan, sebenarnya Semar adalah turunan dari bangsawan, bahkan saudara Sang Hyang Guru Nata (dewa dari seluruh dewa) di Kahyangan. Walaupun Semar dikenal sebagai orang papa, ia memiliki insting yang sangat tajam, intuitif, dan memiliki watak kedewaan. Semar senantiasa adil dan bijak dalam memutuskan setiap masalah atau perkara. Bila diperintah menumpas keangkaramurkaan, Semar akan memperlihatkan kesejatian dirinya. Akan tetapi dalam keseharian, Semar selalu berpenampilan sebagai sosok titah sawantah belaka. Isteri Semar adalah Dewi Kanistri, yang selalu ditinggal pergi karena panggilan tugas mulia sang suami dalam menghamba kepada pemimpin dan bangsanya. Kehidupan keluarga Semar lebih mengedepankan lakutama daripada gemerlap duniawi.

8. Baladewa (Mudah Marah, Mudah Memaafkan)
Waktu mudanya, Baladewa bernama Raden Kakrasana, kakak Prabu Kresna. Baladewa berkulit putih kemerahan seperti turis (bule). Ia adalah lambang pria yang suka bersemedi, suka pati raga dan tirakat. Ia lebih banyak berkecimpung di dalam dunia ilmu ghaib. Waktu yang lain dimanfaatkan untuk berkiprah di bidang olah kaprajan, juga menempa strategi berperang. Baladewa memiliki watak sangat menyayangi keluarganya, terlebih kepada saudara perempuannya, Dyah Ayu Sembadra. Kemanapun pergi, Sembadra senantiasa dalam pengawalan Baladewa. Karakter yang menonjol dari Baladewa adalah mudah marah tapi juga mudah memberi maaf kembali. Hubungan kekeluargaan dengan Pandawa memang sedikit renggang, karena Baladewa banyak bermukim di Astina. Tetapi Baladewa juga serta-merta hijrah dari Astina, setelah mengetahui bahwa keluarga Astina telah melenceng dari kesepakatan dan pesan para leluhur. Baladewa bisa dilambangkan sebagai gambaran sosok pria yang setiap bertindak selalu serampangan, tanpa dipikir panjang terlebih dahulu, akhirnya justru malu sendiri setelah ketahuan kekeliruannya. Kelebihan lain dari Baladewa adalah berani mengakui secara jantan atas kekeliruan dan kekhilafannya.

nah, mungkin itu yang bisa aku bagi.semoga bermanfaat dan bahan ajaran buat kita semua.
Selengkapnya →

Percuma


Sebaik apa pun sebuah sistem,kalau tidak dijalankan ya percuma.
Semerdu apapun suara,kalau tidak didengarkan ya percuma.
Sehebat apapun sebuah ide,kalau tidak diimplementasikan ya percuma.
Seagung-agungnya sebuah agama,kalau tidak diamalkan ya percuma.

Apalah arti sebuah lukisan bagi yang buta?
Apalah makna sebuah nyanyian bagi yang tuli?

Bercinta dengan akal memang menyenangkan,namun bila tidak diwujudkan hanya menjadi sebuah lamunan,pemikiran dan khayalan yang percuma.

Agar tak percuma,
Supaya bermakna,maka harus diwujudkan,diamalkan,diciptakan …
Itulah mengapa akal membutuhkan ciptaan,yang membuatnya tunduk pada Sang Pencipta…
Selengkapnya →

Mengenal Sang Kiyai Yang Juga Seniman, KH. Achmad Mustofa Bisri

Kiyai, penyair,novelis, pelukis, budayawan dan cendekiawan muslim, ini telah memberi
warna baru pada peta perjalanan kehidupan sosial dan politik para ulama.Ia kiyai yang bersahaja, bukan kiyai yang ambisius. Ia kiyai pembelajar bagi para ulama dan umat. Pengasuh Pondok Pesantren Roudlatut Thalibin, Rembang, Jawa Tengah.

     Lahir di Rembang, Jawa Tengah, 10 Agustus 1944,dengan nama lengkap Achmad Mustofa Bisri, Beliau dari keluarga santri. Kakeknya, Kyai Mustofa Bisri adalah seorang ulama. Demikian pula ayahnya, KH Bisri Mustofa, yang tahun 1941 mendirikan Pondok Pesantren Roudlatut Thalibin.
Ia dididik orangtuanya dengan keras apalagi jika menyangkut prinsip-prinsip agama. Namun, pendidikan dasar dan menengahnya terbilang kacau. Setamat sekolah dasar tahun 1956, ia melanjut ke sekolah
tsanawiyah. Baru setahun di tsanawiyah, ia keluar, lalu masuk Pesantren Lirboyo, Kediri selama dua tahun. Kemudian pindah lagi ke Pesantren.

     Ia lalu kembali ke Rembang untuk mengaji langsung diasuh ayahnya.KH Ali Maksum dan ayahnya KH Bisri Mustofa adalah guru yang paling banyak mempengaruhi perjalanan hidupnya. Kedua kiyai itu memberikan kebebasan kepada para santri untuk mengembangkan bakat seni.
    Kemudian tahun 1964, dia dikirim ke Kairo, Mesir, belajar di Universitas Al-Azhar, mengambil jurusan studi keislaman dan bahasa Arab, hingga tamat tahun 1970. Ia satu angkatan dengan KH Presiden Republik
Indonesia Keempat (1999-2001)Abdurrahman Wahid (Presiden Republik Indonesia Keempat (1999-2001)Gus Dur).
    Menikah dengan Siti Fatimah, ia dikaruniai tujuh orang anak, enam di antaranya perempuan dan satu laki-laki. Anak lelaki satu-satunya adalah si bungsu Mochamad Bisri Mustofa, yang lebih memilih tinggal di Madura dan menjadi santri di sana.
    Setelah abangnya KH Cholil Bisri meninggal dunia, ia sendiri memimpin dan mengasuh Pondok Pesantren Roudlatut Thalibin, didampingi putra Cholil Bisri. Pondok yang terletak di Desa Leteh, Kecamatan
Rembang Kota, Kabupaten Rembang, Jawa Tengah, 115 kilometer arah timur Kota Semarang, itu sudah berdiri sejak tahun 1941.


Karya Puisi-puisi Gus Mus

BILA KUTITIPKAN

Bila kutitipkan dukaku pada langit
Pastilah langit memanggil mendung

Bila kutitipkan resahku pada angin
Pastilah angin menyeru badai

Bila kutitipkan geramku pada laut
Pastilah laut menggiring gelombang

Bila kutitipkan dendamku pada gunung
Pastilah gunung meluapkan api. Tapi

Kan kusimpan sendiri mendung dukaku
Dalam langit dadaku

Kusimpan sendiri badai resahku
Dalam angin desahku

Kusimpan sendiri gelombang geramku
Dalam laut pahamku

Kusimpan sendiri.

Sajak Cinta

Sajak Cinta
cintaku kepadamu belum pernah ada contohnya
cinta romeo kepada juliet si majnun qais kepada laila
belum apa-apa
temu pisah kita lebih bermakna
dibanding temu-pisah Yusuf dan Zulaikha
rindu-dendam kita melebihi rindu-dendam Adam
dan Hawa
aku adalah ombak samuderamu
yang lari-datang bagimu
hujan yang berkilat dan berguruh mendungmu
aku adalah wangi bungamu
luka berdarah-darah durimu
semilir sampai badai anginmu
aku adalah kicau burungmu
kabut puncak gunungmu
tuah tenungmu
aku adalah titik-titik hurufmu
huruf-huruf katamu
kata-kata maknamu
aku adalah sinar silau panasmu
dan bayang-bayang hangat mentarimu
bumi pasrah langitmu
aku adalah jasad ruhmu
fayakun kunmu
aku adalah a-k-u
k-a-u
mu

A. Mustofa Bisri
Rembang, 30.9.1995


Aku tak akan memperindah kata-kata

Karena aku hanya ingin menyatakan
Cinta dan kebenaran
Adakah yang lebih indah dari
Cinta dan kebenaran
Maka memerlukan kata-kata indah?



Bagimu

Bagimu kutancapkan kening kebangganku pada rendah tanah
Telah kuamankan sedapat mungkin imanku
Kuselamat-selamatkan islamku
Kini dengan segala milikmu ini
Ku serahkan kepadamu, Alloh
Terimalah

Kepala bergengsi yang terhormat ini
Dengan kedua mata yang mampu menangkap gerak-gerik dunia
Kedua telinga yang dapat menyadap kersik-kersik berita
Hidung yang bisa mencium wangi parfum hingga borok manusia
Mulut yang sanggup menyulap kebohongan menjadi kebenaran
Seperti yang lain
Hanyalah seper sekian percik tetes anugerahmu
Alangkah amat mudahnya Engkau melumatnya, Alloh
Sekali engkau lumat terbanglah cerdikku
Terbanglah gengsiku
Terbanglah kehormatanku
Terbanglah kegagahanku
Terbanglah kebanggaanku
Terbanglah mimpiku
Terbanglah hidupku
Alloh
Jika terbang, terbanglah
Sekarang pun aku pasrah
Asal menuju haribaan rahmatmu
Selengkapnya →

Sajak Kaleng Krupuk Budi Asih



keleng kerupuk

Dia menangis lagi
ini kesembilan kalinya
dan berulang ketika kami makan
di warung tegal
aku menebak
mungkin dia rindu
pada masakan ibu
atau pada bahasanya
logat bicaranya
medok bersahaja
mendoan yang kering dimasak tiga kali
kriuk menutupi isak tangisnya
“kau kenapa?”
“tidak”
“tidak apa?”
“aku hanya rindu”
“pada ibu, kampung halamanmu?”
“pada sebuah nama”
“siapa?”
“yang tertulis di kaleng kerupuk itu”
aku mengerti
nama itu sama dengan yang tertulis
di puisinya tahun lalu,
mantan kekasihnya
yang pergi entah kemana
“jangan hentikan aku menangis,
aku suka tangis ini,
yang demi untuknya.”
Selengkapnya →

Puisiku,Sesederhana Niatku

Bahasa yang kita pakai hari ini
mungkin takkan dimengerti
beberapa generasi lagi.
puisi-puisi saya yang sederhana
akan dianggap sastra lama
yang sulit dicerna maknanya;
mungkin bakal senasib dengan soneta, tersina, dan lainnya;
atau dengan novel-novel Hindia-Tionghoa
di masa penjajahan Belanda.

Banyak pembaca bertanya
mengapa puisi saya
berbahasa masa kini yang sederhana,
jawab saya:
saya hanya sekedar mengisi catatan sejarah
bahwa bangsa kita pernah berbahasa seperti ini.
Selengkapnya →
Selasa, 11 Juni 2013

Ambang Cakrawala Karya Amang Rahman

 Biografi


   H.Amang Rahman Jubair lahir tanggal 21 November 1931, di Ampel, Surabaya dari pasangan seorang keturunan Arab dan ibunya orang Jawa berasal dari daerah Jambe Kemantren, Buduran, Sidoarjo, Jawa Timur. Sebagai putra keempat dari 13 orang bersaudara dalam lingkungan keluarga yang taat beragama, Amang pada masa kecilnya mendapat pengaruh kuat kebudayaan Islam di Jawa yang diperoleh dari cerita maupun petuah dari kakek neneknya, keluarga, masyarakat, lingkungannya maupun kawan sebaya sepermainannya. Pengaruh ini berlanjut terus hingga usia remaja. Dia sangat akrab dengan al-Quran, berbagai surau, mesjid bahkan gemar pula mengunjungi berbagai makam terutama karena tertarik untuk berziarah atau menyaksikan nisan antik yang bertuliskan huruf Arab maupun huruf Jawa yang pada saat itu dianggap menarik dan unik. Sejalan dengan usahanya memperdalam bidang seni rupa, Amang pun terus
menekuni serta mengembangkan wawasannya di bidang kesenian lainnya. Antara lain dengan membaca di perpustakaan, berdiskusi dengan rekan seniman lainnya, dari Surabaya maupun dari kota lainnya di Indonesia, seniman tradisional maupun modern. Kecintaannya dalam dunia kesenian telah dibuktikan olehnya dalam bentuk puisi, penulisan kritik sastra serta karya lukisannya.
             Latar belakang yang diawali sejak masa kecil maupun pengalaman religi serta berbagai pengalaman hidupnya sehari-hari telah membangun secara bertahap dan terus memperkaya wawasan Amang Rahman dalam karya lukisannya. Penjelajahan dan pengembaraan ruang kehidupan manusia baik jasmani maupun rohani membentuk alam kesadaran Amang yang dimanifestasikan pada penguasaan ruang kanvas lukisan-lukisannya.
Jejak ini dapat disaksikan pada setiap lukisan Amang, terutama di dalam meletakkan obyek serta komposisinya  yang esensial yaitu : alur horizontal, vertikal dan diagonal. Pilihan obyek utamanya sederhana. Sosok manusia, paling sedikit 2 dan paling banyak 9 figur dalam pola bentuk dan posisinya dilakukan pengulangan.
             Penampilan unsur warna pada setiap lukisan Amang didominasi oleh pilihan warna biru, hijau, kuning dan hitam dengan nuansa dari keempat warna pilihannya itu. Berlanjut pada efek warna yang menyiratkan cahaya merupakan esensi dari keutuhan tema sentral. Pada penggunaan unsur garis, hampir setiap lukisan Amang bersifat efisien berupa kontur yang fungsional malah pada kebanyakan karyanya penampilan unsur garis sebagai maksud bayangan dibangun dengan batas pertemuan kontras warna yang berbeda.
           Amang Rahman lebih puas menggunakan jari-jarinya termasuk telapak atau punggung tangannya sebagai pengganti kuas dan pisau pallet untuk melukis, kadang-kadang menggunakan kain serbet untuk menghapus atau mencampur warna langsung keatas kanvas. Hasil produk kerja seperti itu, menjadikan wajah kanvas tidak kasar, perubahan nuansa warna menjadi halus dan bentuk obyeknya menjadi datar seperti halnya lukisan yang dekoratif dua dimensional.
              Karya lukisan Amang Rahman didasari oleh keluasan wawasan, aneka ragam pengalaman hidup lahir batin serta perenungan selaku insan yang beriman Islam telah melahirkan sikap hidup yang bersahaja, arif dan bijaksana dalam menghadapi dan mengatasi kehidupan di dunia fana ini. Beberapa unsur seperti keyakinan terhadap diri sendiri, pengalaman beragama yang kian mempertebal iman Islam, memahami hakekat hidup serta menghayati secara total dalam berkesenian telah diraih dan direfleksikan pada sebagian lukisan Amang Rahman Jubair, khususnya pada karyanya yang non-kaligrafis.
            Sang pelukis itu, meninggal tanggal 15 Januari 2000. Agak mengejutkan meski setiap orang siap melepas lelaki sepuh itu. Yang selalu bersungguh-sungguh, dan selalu hadir menyapa berkomunikasi dengan lelucon-leluconnya.
            Yang mengejutkan ketika seniman sahabat orang banyak itu ditinggalkan banyak orang saat menyelenggarakan "Pameran Lukisan 70 Tahun" dan diskusi buku Ambang Cakrawala: Monografi Seni Lukis Amang Rahman. Acara di Museum Nasional Jakarta, 2001, hanya dihadiri sedikit pengunjung. Kontras dengan pameran-pameran yang diselenggarakan ketika ia masih hidup, acara "Mengenang Amang Rahman Jubair", yang diselenggarakan di Balai Pemuda, Surabaya, 28 November - 3 Desember 2005 lalu juga mengalami hal yang sama.
            "Mengenangkan Amang Rahman Jubair" adalah mengenang sebuah kafe terbuka, dengan meja dan kursi di teras, yang berhubungan langsung dengan kesibukan dan lalu lintas kota. Di mana orang-orang berkumpul dan berbicara sambil memesan segelas kopi, sepiring bakmi atau nasi goreng, dan dengan ditemani sebungkus rokok. Berjam-jam bicara, tak peduli pesanan habis, dan karenanya terpaksa memesan lagi - karena obrolan tak ada habisnya, dan keceriaan terus-terusan berhamburan.
            Mungkin karena hanya warung lesehan, di mana tikar khusus digelar di tempat yang agak jauh dari warung, tempat para pembeli datang dan pergi. Sementara seorang Amang Rahman Jubair terus berbicara dan terus menghamburkan cerita lucunya. Momen di mana waktu seperti berhenti menggelar kesulitan ekonomi, problem politik, dan utamanya tantangan kreatif penciptaan.
             Tapi waktu tidak berhenti meski seperti alpa menggelar kenyataan ketika kita bertemu dan berkumpul dengan Amang Rahman Jubair - yang ke luar dari studio dan jadi si manusia yang melupakan tantangan kreatif dan mungkin juga kesulitan ekonomi. Aspek ini yang terkadang melekat dan teringat oleh siapa pun yang pernah bertemu dan berbicara dengannya. Semesta alpa yang menyenangkan di tengah tantangan berkesenian yang kejam - bahkan tak peduli, karena saat itu boom lukisan dihargai mahal belum terbentuk.
           Dalam esei lain ,ia melukiskan situasi simalakarma itu dengan mengutip sebuah cerpen yang tak lagi saya ingat judulnya. Cerpen yang menceritakan seorang pelukis yang berkonsentrasi melukis dan berhasil membuat lukisan-lukisan fenomenal. Sehingga rumah dan studionya yang sunyi tak diperhatikan orang jadi jujugan pelukis muda yang berkonsultasi dan berdiskusi. Hal itu membuat si pelukis merasa tersanjung dan sekaligus merasa terganggu karena tak lagi sempat bersunyi dan konsentrasi melukis. Cerpen itu diakhiri dengan klimaks yang tragik-dramatik. Si pelukis bunuh diri di depan kanvas kosong, yang hanya berisi coretan satu kata, yang mungkin bermakna solider dan bisa jadi soliter. Menjadi pelukis itu tidak cukup hanya kreatif melukis, dan masyarakat mengakui kualitas dari lukisannya dengan tak perlu dibebani tugas-tugas sosial di luar keahliannya. Atau harus melayani kehendak masyarakat dengan tugas ini-itu di luar minat kreatifnya.
            Bagi Amang Rachman Jubair berkesenian adalah masalah pilihan dan karenanya ia berkonsentrasi kepada obsesi tematik dan masalah estetik ekspresi simbolik lukisannya. Dan kita menemukan corak lukisan yang khas, panorama semesta yang dibuat berlapis dan bertingkat-tingkat sehingga suasana sunyi dan mistis jadi dominan dengan satu atau beberapa figur ditinggalkan sendiri dalam kesepian dan siksaan rindu di tengah keluasaan kosong, dan satu matahari atau bulan yang menjadi sumber dari keberadan - karena segalanya jadi tampak ada karena diterangi.
           Ada keterpencilan saat di cafe tersebut. Ada perasaan ngungun karena ditinggalkan di sana - ditinggalkan di tengah segala yang tak bermakna dan tak substansial karena semua itu hanya menggejala karena disinari Yang Tunggal. Dan karenanya ada sikap tawakal menerima segala yang digariskan. Ada sikap takwa dan tawadhu dari seseorang yang percaya, mengakui, dan berserah diri dalam menjalani segalanya - dengan usaha yang bertumpu pada mencari ridha-Nya. Pencapaian mistis yang diungkapkan dengan tehnik yang khas.
          Teknik yang matang meski tidak akademis karena dibangun dari kemauan belajar seorang otodidak - dan kerja keras tidak kenal lelah. Tapi hal itu jadi lumer kalau kita bertemu dengan Amang Rahman Jubair di luar studio dan kesuntukannya sebagai pelukis yang gigih dan pantang mundur. Yang bersiteguh mencari ciri khas sehingga lukisannya jadi ikon lukisan Amang Rahman Jubair yang langsung merujuk ke diri seorang Amang Rahman Jubair saja.
           Di luar itu ia adalah warung lesehan, dengan segelas kopi, sebungkus rokok, dan tertawa panjang yang membuat waktu surut dan tidak berani menunjukkan realitas keseharian yang penuh dengan kesulitan ekonomi, problema politik dan ter-utama tantangan kreatif penciptaan. Tapi waktu itu tak benar-benar abai dan alpa, karena ia tetap teringat pada kewajiban pokoknya,yaitu menghadirkan manusia dan menghilangkan manusia dari kehadiran nyata berserentakan di dunia.
Amang Rahman Jubair pun memenuhi panggilan itu - mungkin juga pembe-basan dari keberadaan dalam semesta keterasingan, yang ada akibat pancaran terang dari Yang Mengadakan, dan karenanya ia akan diserap atau terserap lagi ke dalam Yang Utama. Persis seperti puisi "Kepastian", ditulis 1975, yang berbunyi: Dalam hidup ini, ada satu yang pasti yaitu mati. Sebuah puisi yang menolak simbol, imaji, dan reka bunga bahasa. Sebuah kerja kreatif yang menolak kehadiran yang semu penuh gincu dan hiasan estetik, dan melulu menghadirkan yang substansial, yang inti.
            Dan sebelum hal itu sampai, yang ada adalah kerja keras kreatif, penuntasan kewajiban seorang suami dan ayah, serta waktu luang untuk mentertawakan segala hal yang semu dan tidak substansial. Dan karenanya, mengikuti simbolisasi sebuah "Sajak Ibunda" Rendra: Amang Rahman Jubair itu warung lesehan dengan segelas kopi, sebungkus rokok, dan obrolan intim yang penuh kegembiraan.
            Kegiatan lain selain melukis adalah: Pengasuh Yayasan Pendidikan Kesenian Surabaya (sejak tahun 1967), Mendirikan Akademi Seni Rupa Surabaya (AKSERA), Sekretaris Dewan Kesenian Surabaya (DKS, 1971), Ketua Dewan Kesenian Surabaya (DKS, 1984).


Lukisan Amang Rahman Beserta Judul Dan Tahunnya 


                                                                 
                                                                  Penghianatan,1986


                                                           MataRembulan dan hari 1968
                                               

                                                                 Undangan,1968


                                                             Bahtera Kehidupan,1970


                                                              Pohon Kehidupan,1970


                                                       Wajah-wajah Kehidupan,1970     
                                             


                                                                Pohon Hayat,1974


                                                                         Nenek,1976


                                                             Pohon Kehidupan,1979

                                                              Tujuh Bidadari,1983


                                                 Salamun Qoula Min Robbi Rokhim,1984


                                                                    Ibundaku,1989


                                                        Sebelum Gerhana Bulan,1990


                                                                Semua.....Kita,1990


                                                        Yaa Rohman Yaa Rohim,1991


                                                            An-Nashr, Ayat 3,1991


                                                         Impresi Sebuah Lagu, 1992


                                                          Impresi Dua Figur 1, 1992


                                                              Kasih Sayang, 1992

                                                       Monumen Yang Sunyi , 1992


                                                          Laa Illaaha Illallah,1995


                                            Mendekap Rembulan Berselimut Awan, 1994


                                                                  Pohon Hayat,1996


                                                               Potret Diri,1996


                                                               Sebuah Doa, 1997


                                                                     Renungan,1997


                                                            Terang- teranglah 1999


                                                             Puncak-puncak, 1999


                                                 Antara Kayu Tanam-Bukit Tinggi,2000


                                                 Dzikir sambat (ya rohman ya rohim) 2000


Dan masih banyak lagi lukisan-lukisanya. Semoga beliau dan karyanya menjadi inspirasi dan bermanfaat bagi kita semua....
Selengkapnya →